Bedah Tuntas Serat Centhini
dalam
Manunggaling Kawula Gusti
tulisan oleh:
Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2005
Tulisan ini dimaksudkan sebagai pengkajian awal terhadap salah satu
aspek dari sedemikian banyak aspek yang penting dan menarik berkenaan dengan
Pustaka Centhini (nama dari seorang pembantu Niken Tembanglaras yang setia),
yakni peranan dan wejangan Seh Amongraga, tokoh paling dominan di antara empat
tokoh lainnya – Kyai Bayi Panutra, Niken Tembanglaras, Ni Centhini, Kyai
Basaroddin.
Perlu disebutkan terlebih dahulu, bahwa materi Centhini yang
dipergunalkan dalam tulisan ini didasarkan atas Pustaka Centhini yang
diterbitkan oleh Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschappen, tahun
1913 dalam 8 jilid, yang didapatkan dari Javanologi Nusantara Yogyakarta.
Kebetulan yang empat jilid tidak didapatkan penulis sampai saat ini. Ada pun
yang empat jilid konon ditulis dengan tinta emas sewaktu pemerintahan
Pakubuwana VII, dilengkapi dengan canto pengantar baru dalam bentuk
Dandanggula. Dalam canto pengantar terdapat kronogram: Atata Resi Amulang
Jalma, bertahun 1775 A.J. (Anno Javanico = 1846 A.D.) (Soebardi, 1975:163).
Pustaka Centhini yang diterbitkan oleh Bataviaach Genootschap tersebut,
bukanlkah versi yang asli. Ini adalah penulisan berdasarkan Centhini kadipaten
atas perintah putra mahkota yang kemudian menjadi Paku Buwana V. (Soebardi,
1975:163).
Ada tiga pengarang utama untuk Pustaka Centini, yaitu:1. Kyai
Yasadipura II (Putra dari Pujangga I Surakarta R. Ng. Yasadipura I).2. Kyai
Ronggosutrasno.3. R. Ng. Sastradipura, yang kemudian berubah namanya menjadi
Ahmad Ilhar setelah menunaikan ibadah haji (Sumahatmaka, 1981:7).
Ketiga pengarang tersebut dibantu oleh tiga ulama yang cukup terkenal
pada masa itu, yaitu:1. Pangeran Jungut Mandurejo, dari Pradikan Krajan Wangga,
Klaten.2. Kyai Kasan Besari, ulama besar Lebangtinar Jetis Ponorogo yang
sekaligus menantu Susuhunan Pakubuwana IV.3. Kyai Muhammad Minhad, ulama besar
di Surakarta (Kamajaya, 1985:iv).
Masing-masing penulis diberi tugas untuk menulis yang paling diketahui
dalam bidangnya, dan sebagai ketua team penulis adalah Adipati Anom. Namun
demikian ketua team penulis, yaitu pangeran Adipati Anom yang kemudian naik
tahta menjadi Sunan Pakubuwana V sempat kecewa. Masalahnya karena dalam topik
yang menyangkut senggama ataupun permainan erotis kurang jelas ungkapannya,
sehingga menurut pandangannya topik tersebut kurang sempurna (Sumahatmaka,
1981:7).
Oleh sebab itu, topik yang menyangkut masalah tersebut diambil alih
oleh ketuanya sendiri dan sesudah selesai diserahkan kembali kepada team.
Sumber Pustaka Centhini belum diketemukan secara pasti. Diperkirakan dari Suluk
Jatiswara. Pendapat ini dikemukakan oleh putra mahkota kepada Ronggosutrasno,
kemudian dikatakan:
Induk Serat Centhini yang berasal dari Pesisir bernama kitab Jatiswara.
Kitab ini kemudian dikarang lagi, diuraikan panjang lebar menjadi Centhini
(R.M. Ng. Poerbatjaraka, 1957:151). Akan tetapi pendapat tersebut ditolak oleh
T.E. Behrend, sarjana Amerika yang lebih condong pada pendapat bahwa Kidung
Cendhini dari Cirebon yang ditulis pada tahun 1616 M lebih mendekati sumber
ilham Centhini (Behrend, 1985:34). Dia menunjukkan jalur langsung dari
Cendhini-Centhini Jalalen dan Centhini (Behrend, 1985:13).
Namun perlu ditambahkan di sini bahwa, tidak boleh diabaikan pelacakan
sumber penulisan Centhini di luar Jatiswara maupun Serat Cendhini yang ditemukan
itu. Ada sumber lain yang amat penting, yaitu dunia pesantren dan Jawa
Pedesaan. Walaupun versi yang panjang dari pustaka Centhini disusun dalam
kraton Surakarta, namun alur cerita dan episode yang ada di dalamnya bergerak
dalam dunia pesantren, misalnya mukarrar, sujak, illah, sukbah dan sittin.
(Mukarrar yang dimaksud adalah Al-Muharrar buku fiqih mazhab Syafi’i yang
ditulis oleh Abu Qosim Abdul Karim bin Muhammad Rifa’i (w.1226). Sujak yang
dimaksud adalah Takrim fil fiqih. Menurut S. Soebardi yang dimaksud dengan
Ilahadalah buku fiqih yang di kalanan pesantren dikenal sebagai Idah fil fiqih,
penulisnya tidak jelas. Sukbah yang dimaksud adalah buku yang berjudul Shuhabat
fi Mawaiz wal Adab min Hadits Rasulullah, karangan Abu Abdullah Muhammad bin Salamah
al-Kuda’i (w.1062). Sittin yang dimaksud adalah buku Assittun Mas’ala fil fiqih
(enampuluh persoalan fiqih) yang ditulis Abu Abbas Ahmad bin Muhammad Zaid
al-Misri (Soebardi, 1975:164-166). Hal ini dapat dilihat ketika Seh Amongraga
memberi wejangan kepada Kyai Bayi Panutra dan keluarganya perihal kitab yang
berjumlah duabelas (12), yang maksudnya apa yang diperintahkan dalam agama dan
diterangkan dalam kitab dan Al Qur’an seharusnya dijalankan; dalam
Dandhanggula, pupuh 196 dinyatakan sebagai berikut:
Kitab sittin lan semara kandiBayan tasdik sail lawan soejakIlah miwah
moekararaeSoekbah miwah moestahal nenggihAdika djangkepiraKalih
welaspoenPoenapa prentah kang kocapAneng kitab prajogi dipoen lampahiSami
saking koeran (Centhini, III-IV:117)
Dengan demikian beberapa buku yang telah disebutkan dan dunia pesantren
dapat dipandang sebagai salah satu sumber penulisan Centhini. Kalau pun kitab
Jatiswara di perpustakaan Sanabudaya Yogyakarta terdapat Suluk Jatiswara dengan
tulisan huruf Jawa dan berbahasa Jawa, pengarang tidak jelas, tanda tahun 1819,
ukuran 21×23, 15,5×27,5 dengan kode katalog SB.19.14. Suluk Jatiswara ini
tampaknya bagian dari Centhini yang diganti versinya, yaitu Seh Amongraga
sebagai Jatiswara yang kawin dengan putri dari palembang – sering diperdebatkan
sebagai sumber penulisan Centhini, ini pun tidak berpengaruh besar dan kalaupun
ada hanyalah sempalan, sementara yang emang ada kemiripannya dengan tema pokok,
yaitu santri lelono dan jumlah episodenya, seperti lelampahan, pitepangan,
rarasan ngilmi dan tilam sari (adegan di tempat tidur dan dialog di tempat
tidur).
Adapun dimasukkannya berbagai buku Islam, khususnya yang dipakai dalam
dunia pesantren oleh para pengarang Centhini tidak sekedar buatan para
pengarangnya, tetapi betul-betul ada. Ada alasan kuat bahwa beberapa buku
tersebut tidak hanya diketahui, tetapi secara luas telah dipelajari di dalam
banyak pesantren sewaktu Centhini ditulis kira-kira dalam perempat abad ke-19.
Akan tetapi dari semuanya itu, pengenalan Islam dalam Centhini dapat diartikan
sebagai misi dari para pengarang Centhini untuk memadukan unsur Islam dan
tradisi Jawa yang berwatak sinkretis dan akomodatif.
B. Wejangan Seh Amongraga tentang Jalan Mencapai Kesempurnaan Hidup
Di dalam pustaka Centhini, tokohnya yang penting yaitu Seh Amongraga
digambarkan oleh para pengarang Centhini mempunyai ilmu tentang agama Islam
yang jauh lebih mumpuni daripada yang dimiliki oleh Kyai Bayi Panutra,
Tembanglaras ataupun Jayengraga dan Kyai Basaruddin yang semuanya itu adalah
tokoh agama dan tokoh masyarakat yang sangat dihormati oleh masyarakat santri
di desa Wanamerta.
Seh Amongraga pada awalnya sebagai ulama yang taat dan saleh dalam
menjalankan syareat agama. Di desa Wanamarta dia dikagumi oleh seluruh
masyarakat santri karena menjadi imam yang bijaksana. Dia tidak hanya
digambarkan sebagai seorang ulama yang saleh melainkan juga sebagai contoh yang
menarik bagi para santri, karena amalan sunnah dan dzikirnya yang tak pernah
putus (Centhini, I, II:52).
Pada saat yang sama ia juga digambarkan sebagai seorang yang memiliki
ilmu yang mendalam tentang ajaran Islam yang berhubungan dengan ilmu fiqih,
ushuludin dan tasawuf (Soebardi, 1975:40) dan juga pandai menjelaskannya untuk
para santri Wanamerta maupun keluarga Kyai Bayi Panutra. Dalam wejangannya
kepada mertuanya, yaitu Kyai Bayi Panutra dan kepada istrinya Niken
Tembanglaras maupun pembantu setianya Ni Centhini berkenaan dengan ketiga ilmu
tersebut. Penyajian wejangan oleh Seh Amongraga atas masing-masing topik dibawakan
secara sederhana dan dengan cara yang tidak sistematis.
Bagaimanapun pada tahap awal, syariat adalah satu-satunya langkah
menuju jalan Allah menurut pandangan Seh Amongraga. Dalam memberikan wejangan
kepada istrinya Niken Tembanglaras, pertama kali ia menuntun istrinya
mengucapkan sahadat fatimah (Centhini, 195) kemudian diberi penjelasan tentang
syariat bersama tarikat, dan hakikat bersama ma’rifat. Menurut Seh Amongraga
bahwa syariat bersama tarikat merupakan wadah bagi sesuatu (wadah sekelir),
sedangkan hakikat dan ma’rifat adalah wiji nugraha (benih pahala Tuhan)
(Centhini;196).
Menurut Seh Amongraga, jika biji tersebut disimpan dalam tempat yang
bagus maka nugraha akan tumbuh dengan baik, dan begitu sebaliknya jika nugraha
tidak disimpan dalam wadah yang bak tidak akan tumbuh dengan baik. Dia
mengharapkan pada istrinya dan orang lain untuk selalu waspada, tenang dan
tidak congkak akan ilmu mistiknya. Syariat harus dipegang teguh dan tidak boleh
ditinggalkan. Hal ini terungkap dalam pupuh 24-27:
24. ajwa doemeh remeh ikoe jajiwadjib angoetjap ashadoe an lailaha
ilalah denesoen ngawroehi satoehoetan ana pangeran kekalihnanging Allah kang
esakang toenggal poenikoedadekan alam sedajawa ashadoe anna Patimah tin
djokrilkarimi imra atal
25. noeboewati binti Moehammadinsalalahoe ngalaihi wasalamsoen nekseni
satoehoenedewi patimah ikoelintang djohar ingkang moeljadikang dadi ratoening
dyahkang atjahja mantjoerkang poetra djeng nabi kitaMoehamad dinil salalaloe
ntgalehiWasalam ngalaeka
26. jwa pepeka kang djatmika ngelmidjatmikianing elmoe ikoe sarakia
sarengat jektinelawan tarekatipoenpan minangke wadah sekalirdening ilmoe
hahekatlan makripatipoenminangka widji noegrahawidji jen tan toemanem wewadah
betjikboengkik noegrahanira
27. Moelane jaji den ngati-atisarengatira koedoe sentosaasareh akeh
pedaheajwa langar ingelmoejen kepretjet ambilaenimoeroengaken kasidandene
langgar ikoehakekat tinggal sarengatikoe akeh langar pengrasane newisangrasa
kadan moelja (Centhini:195-196)
Wejangan Seh Amongraga tersebut merupakan penyajian secara pandangan
Jawa tentang interdependensi yang pokok dari susunan empat jalan mistik menuju
kesempurnaan hidup, yaitu syariat dan tarekat ditamsilkan dengan wadah sakelir
sedangkan hakikat bersama ma’rifat ditamsilkan sebagai wiji nugraha. Wadah dan
biji keduanya tidak terpisahkan, keduanya harus seimbang, dan keseimbangan itu
perlu untuk mencapai hidup sempurna.
Seh Amongraga berulangkali menekankan bahwa untuk hidup yang sempurna
dan mati yang sempurna orang harus memegang prinsip hidup (uger-ugering gesang)
yang terdiri atas empat jalan tersebut. Kemudian dia menjelaskan bahwa, puncak
ilmu syariat itu adalah niat untuk melakukan ibadah, puncak ilmu tarekat adalah
tercapainya iman yang mutlak; adapun puncak ilmu hakekat adalah i’tiqad untuk
mengetahui kenyataan Tuhan, dan puncak ilmu ma’rifat adalah “makloem”, yaitu
bersatu dengan Tuhan tanpa melupakan diri. Wejangan ini disampaikan oleh Seh
Amongraga terhadap istrinya, sebagaimana dalam sinom pupuh 9:
9. poepoese ngelmi sareatniat koedoe anglakonipoepoese ngelmoe
tarekatkoedoe koesoes angjaktenipoepoesing hakekatikoedoe temen sarta
toehoenyataken kenjataanpoepoesing makripat jajikoedoe maklum sarta soekoer tan
pepeka (Centhini, III-IV:98)
Susunan empat jalan menuju hidup yang sempurna seperti yang diwejangkan
oleh Seh Amongraga kepada istrinya bukan merupakan sesuatu yang baru dalam
literatur suluk Jawa. Dalam primbon abad XVI, tiga jalan mistik yaitu: syari’at,
hakikat dan ma’rifat telah menemukan kedudukan yang penting (Poerbatjaraka,
1957:88-89). Disebutkan dalam primbon bahwasanya barang siapa yang mengatakan
syariat berbeda dengan hakikat atau bahwa ilmu lahir berbeda dengan ilmu batin
adalah kafir.
Kalimat dalam primbon tersebut menunjukkan dengan jelas adanya saling
ketergantungan pada beberapa jalan mistik tersebut. Demikian juga di Sumatera,
problem tentang empat tingkatan jalan mistik telah dikupas oleh Hamzah Fansuri
dari Aceh pada abad XVI yang pada prinsipnya empat jalan tersebut saling
bergantung, seperti ungkapannya di bawah ini:
1. Ketahuilah bahwa yang dinamakan dengan syariat adalah sabda nabi
menyuruh kita berbuat baik dan melarang kita berbuat jahat.2. Ketahuilah bahwa
tarekat tidak lain adalah permulaan hakikat.3. Ketahuilah bahwa jalan hakekat
adalah jalan Muhammad Rasulullah.4. Ketahuilah sabda nabi, bahwa ma’rifat itu
rahasiaku (al-Attas, 1970:301-310; Ciptoprawiro, 1986:64-65).
Kemudian keempat jalan tersebut ditamsilkan oleh Hamzah Fansuri sebagai
sebuah kapal, syariat adalah dindingnya, tarekat adalah geldaknya, hakikat
adalah muatannya dan ma’rifat adalah keuntungannya.
Tampaknya semangat dan jiwa wejangan yang berhubungan dengan tingkatan
jalan mistik seperti dalam primbon abad XVI sama seperti yang diwejangkan oleh
Seh Amongraga. Namun di sini ada perbedaan tamsil. Di dalam primbon abad XVI
syariat ditamsilkan sebagai ilmu lahir, sedangkan tareat dan hakikat
ditamsilkan sebagai ilmu batin. Seh Amongraga menamsilkan syariat dan tarekat
sebagai wadah sakelir dan hakikat bersama dengan ma’rifat sebagai wiji nugraha.
Seperti halnya Hamzah Fansuri yang mempercayai bahwa syariat adalah
penting dan membentuk satu kesatuan yang utuh dari empat jalan mistik, dengan
demikian ada dugaan kuat bahwa kepercayaan yang sama tentang susunan empat
jalan mistik mewarnai literatur suluk. (Drawes, 1969:13) menyebutkan bahwa arti
suluk dan asal-usulnya adalah prinsip dasar yang menyangkut ajaran mistikisme
di Jawa dan Sumatera dari abad XVI ke atas. Dalam pustaka Centhini kepercayaan
akan hal tersebut disiarkan lewat wejangan Seh Amongraga.
C. Wejangan tentang Dzikir dengan Pengaturan Pernafasan
Tidak diragukan lagi bahwa pustaka Centhini asalnya termasuk sastra
suluk. Inti agama yang sebenarnya adalah wejangan agama Jawa yang bertujuan
untuk mencapai “kesempurnaan hidup”, yaitu bersatunya antara hamba dengan Tuhan
(manunggaling kawulo gusti). Wejangan dan penjelasan tentang ilmu rahasia ini
memang dalam bentuk dialog antara Seh Amongraga dan para tokoh lainnya. Di
samping inti wejangan tentang bersatunya hamba dengan Tuhan, para pengarangnya
juga memasukkan misalnya ilmu kalam, tasawwuf dan gambaran yang jelas tentang
adat-istiadat Jawa dan perhatian terhadap masyarakat pesantren.
Penyajian dan wejangan tentang ilmu rahasia itu banyak mewarnai sastra
suluk Jawa. Gambaran tentang bagaimana Seh Amongraga membimbing muridnya, yaitu
istrinya sendiri kepada ajaran rahasia (ilmu rahsa), sesudah istrinya dituntut
dengan kalimat sahadat fatmah, kemudian diuraikan dalil kur’an dan hadis, ijmak
dan kiyas menjadi oegering sarengat, baik makna lahir maupun makna batinnya
(Centhini, I-II:196). Kemudian diwejangkan dua hal pokok, yaitu: pertama, rasa
takut kepada Tuhan yang berarti bahwa manusia harus selalu membaca Al-Qur’an,
melakukan salat, baik wajib maupun sunat dan selalu bangun malam untuk
bertafakkur kepada Allah, yaitu tumbuh budi luhurnya, tajam pandangan hatinya
dan awas terhadap ilmu yang masih samar (Centhini, I-II:196). Yang kedua takut
kepada suami, yaitu dengan mentaati ajaran yang diberikan dan pasrah diri
kepadanya, hal yang demikian itu akan mendapatkan ganjaran di akhirat kelak
(Centhini, I-II:197),
Kemudian istrinya diwejang tentang penyempurnaan salat yang terdiri
atas penyucian tubuh, lisan dan hati. Wejangan ini terungkap dalam pupuh 43,
Dhandanggula sebagai berikut:
43. ingkang wonten djroning tilam sariAmongraga alon angandikamjarsakna
jaji mengkenemoenggoeh sampoernanipoening asalah tigang prekawiskang dingin
soetji badankaping kalihipoenkang asoetji lisanirakaping teloe kang soetji
atinirekitan kena jen gampangna (Centhini, I-II:198)
Setelah penyempurnaan salat secara lahiriah, kemudian dijelaskannya
kepada istrinya arti batiniahnya, yaitu sebagai sarana dinisbahkan ke dalam zat
Tuhan, sehingga perbuatan salat itu menjadi perbuatan Tuhan dan ucapannya
menjadi satu dialog dengan-Nya (polah tingkah kang waoes kagenten polah saiki
iki polahing salat edat ingkang agoeng, oecapan-oecapan salat apocapan edat
jaji) (Centhini, III-IV:24). Tampaknya ungkapan tersebut di atas ada
kemiripannya dengan yang diungkap dalam Wirid Hidayat Jati; Tuhan berbuat,
bersabda, mendengar, melihat dengan meminjam tubuh manusia (Simuh, 1986:293).
Di dalam suluk Aceh pupuh 16 yang berbunyi: “demikian juga yang dinamakan
sifatullah yaitu sifatmu. Sedangkan yang disebut pekerjaan Allah adalah pekerjaanmu”
(Yusuf, 1989:7).
Tampaknya salat dan dzikir yang nantinya dihubungkan dengan pengaturan
pernafasan menjadi sarana untuk mendapatkan kesatuan dengan Tuhan. Oleh sebab
itu, hal tersebut mendapatkan perhatian oleh Seh Amongraga dengan cukup intens.
Amongraga dalam memberikan wejangan kepada istrinya tidak hanya semata-mata
bersifat teoretis, akan tetapi juga dengan latihannya. Selain itu, Seh
Amongraga sangat berbahagia ketika melihat istrinya menangis setelah bebas dari
fananya, kemudian ia berkata: “yayi, kau telah mendapatkan rahmat permulaan
anugrah yang telah dilimpahkan kepadamu.” (jaji sira karahmatan … jekoe aplaloe
ngagesang pasamoen saking Hjang Soekma poepoetjaning noegraha ikoe angrahmati
sira).
Secara perlahan-lahan tetapi pasti Tembanglaras dibimbing oleh Seh
Amongraga dalam latihan dzikir yang dihubungkan dengan pengaturan pernafasan,
setelah terlebih dahulu diwejangkan tentang cara berwudlu (ngambil kadas
tojastoeti, matiro ngilangaken kadas kang tjilik), kemudian menjalankan shalat
wajib dan sunat dengan segala tata tertibnya (Centhini, I-II:193).
Setelah itu Seh memperagakan demikian: Setelah salat lalu membaca
shalawat Nabi, hatinya menjadi terang di zaman tengah (kekinian atau zaman
sekarang ini, bukan nanti atau tadi) hatinya menjadi terang.
Setelah itu Amongraga mengetrapkan suhul kepada Allah menurut tarekat
Barjah, Jalalah, Syatariah dan Isbandiyah.
Kemudian pengaturan nafas dimulai, yaitu napas, anapas, tanapas dan
nupus. Keempat klasifikasi napas tersebut diperhatikan dengan serius sehingga
dapat selaras dengan lafal la maujuda illallah dengan satu nafas yang panjang.
Kemudian memulai dzikir napi-isbat, yang semuanya itu sudah
dipersatukan dalam cipta dan penglihatan, dengan seratus kata senafas. Lafal la
maujuda illallah dijadikan illallah, sesudah itu hanya Allah, Allah saja dan hu
Allah, Allahu, hu, hu, hu dan i,i,i, illa, illah lah lah,
e,e,e,u,u,la,a,a,a,ha,ha, yang akhirnya menjadi sama saja apa yang diucapkan,
dan tidak mengacaukan apa-apa yang diucapkan.
Hatinya dipandang tidak membahayangkan akan tidur maupun kantuk dan
semua lobang (tubuh) sudah tertutup, tidak di bumi dan langit, dan kosong.
Hatinya tertuju kepada kemulyaan zat, salam daim, ismu alim naik ke fana.
Gambaran seperti itu terdapat dalam dhandhanggula, pupuh 4-7:
4. salalahoe ngalaihi salaminoelja salam bakda woes peragattyas bjar
neng djaman tengahedjaman tengahan ikoeananira ia saikiiki-iki belakatan mengko
tan waoemengkana Seh Amongraganoeja tatrap berdjah djaladjah soehoelingsatarjah
isbandijah
5. napas anapas tanapan noepoesipatang prekara kang mandjing
medalliningling-lingling raoseingarah beneripoening parenge tibane
oenilamodjoeda ilalahmot sanapas landoengnoelja dikir napi isbatwoes angingkoed
ingtjipta tingalirekisatoes klimah sanapas
6. lapal lailala ilalahilinampahkan ilalah-ilalahnoelja Allah-Allah
baelan hoe Allah-Allahoehoe-hoe joe lan i i iilla ilalah lah laho o e e oe
oemiwah la la a a ha hapan woes djomblah tan beda idjiling oenimoeni tan moena
sika
7. saliane woewoese kang oewistyas woes kawas kawawas tan oewasing
kedjap lejep lajapebabahanira boentoemingkoep tan mjat ing boemi langitlap nir
norapa apapan woes soewoeng gemploengtjengeng pleng moeng pamelenganmoeljaning
dat salat daim ismoe ngalimmantjad panaoel pana (Centhini, I-II:193)
Hubungan dzikir dengan pengaturan nafas lebih jelas lagi, yaitu
pengucapan lafal lailaha illallah harus pas dengan penarikan dan penghembusan
pernapasan. Cara seperti ini diperagakan oleh Seh Amongraga sebagai berikut:
Pertama-tama mempersiapkan diri untuk junun, kemudian melakukan wirid
naqsyabandiyah, syatariah, jalalah dan barzah penuh konsentrasi dengan sikap
timpuh, setelah itu diatur keluar masuknya nafas kencang dan pelan. Setelah itu
masuk ke alam dzikir lafal la maujuda illallah terpusat dan tertuju kepada Zat
Wajib Wujud dengan wirid nafi isbat, sehingga hatinya terisi dengan itu semua.
Dalam waktu yang bersamaan kepalanya mulai digerakkan ke kanan dan ke kiri
seirama dengan nafi isbat dengan cara daerah huruf lam (pada akhir kata ilallah)
dari pusat badan ditarik ke kiri atas.
Adapun lafal ilaha ditarik ke kanan di bahu atas, kemudian sampai lafal
illa, perasaannya ditunda dalam nafi gaib. Adapun isbat gaib (illallah)
ditempatkan di dada sebelah kiri dan bawah. Adapun nakirah (ilaha) sudah
tertutup (wus brukut) (dengan isbat), dan dengan itu mampu mengucapkan lafal
lailaha illa lahu dengan satu tarikan nafas sebanyal 50 kali yang akhirnya
sampai 300 kali.
Kemudian mengucapkan Hu, Hu, seribu kali dalam satu tarikan nafas dan
hatinya sudah lepas karena dzikir, ia mengucapkan itu dengan tanpa terasa
apa-apa (muni tan ana raos, maksudnya sudah tidak dalam pengalaman biasa). Dan
semuanya itu menurut tata cara Amongraga diperbolehkan walaupun hanya berbunyi
ee, aa, ii, uu dan suara apa saja yang sama, sebab bunyinya adalah kosong
(unine punika suwung). Di situ hilanglah perbedaan, badan dan budi menjadi
satu, itulah yang dinamakan mikraj suhul panaul badan bagaikan kayu yang
kering. Dalam keadaan yang demikian itu, tinilar lagja kalbu (hati ditinggalkan),
semua kosong, sepoi, zaman mutlak gaib, tak ada daratan, tak ada lautan, tak
ada gelap, tak ada terang. Meminjam pendapat Iqbal, bahwa hubungan mistik rapat
sekali dengan alam azali telah mengesankan akan adanya pengertian tentang tidak
realnya waktu yang bersambung… (Muhammad Iqbal telah membahas secara terperinci
sifat pengalaman mistik. Menurutnya ada lima cirinya: 1. Pengalaman tersebut
bersifat langsung, 2. Pengalaman mistik tak dapat di uraikan, 3. Suasana mistik
merupakan satu penggabungan yang dapat dengan pribadi yang serba maha, 4.
Pengalaman itu lebih bersifat perasaan daripada pikiran, 5. Berhubungan dengan
alam azali (Iqbal, 1981:18-22). Dan yang ada hanya wahyu jatmika di alam gaib,
tempat suhul, yang ada hanya jumbuh nora sidji nora loro. Pupuh 49-58 di bawah
ini menggambarkan apa yang telah diuraikan di atas sebagai berikut:
49. amapanaken djoenoenpasang wirid isbandiahipoensatariah djalalah
bardjah amoepidpratingkahe timpoeh wioengtyas napas kantjeng tan dompo
50. noelja tjoel dikiripoenlapal la moedjoeda ilalahoekang pinesti
datoe wadjiboelwoedjoediwinih napi isbatipoenpinatoe tyas woes anggatok
51. anggoejer kepala noetoebeding napi lan isbatipinderah ing lam kang
akir wit poesernekitinatik ngeri mondoewoerlapal ilaha angengo
52. nganan poendak kang loehoerangleresi lapal illa nenggoehpendjadjahe
kang dria mring napi gaibilalah isbat gaiboeing soesoe kiwa kang ngisor
53. nakirahe woes broekoetlapal la ilaha olalahoewinot seket kalimah
senapas nenggihsenapas malih motipoenilalah tri atoes manggon
54. anoelja lapal hoe hoesenapas landoeng winotan sewoepemantjade tyas
lepas lantaran dikirkewala moeng wrananipoenmoeni woes yan ana raos
55. woes wenang sedajekoenadyan a a e e i i oe oesepadane
sedengah-dengah kang oenioenine poenikoe soewoengsami lawan orong-orong
56. ing sanalika ngrikoetjoploking satoe lan rimbagipoendewe-dewe badan
boedine tan toenggilnis mikrad soehoel panekoelbadan kantoen lir gelodog
57. tinilar lagja kalboejektining napi poenikoe soewoengkomplang njenjed
djamaning moetelak haibwoes tan ana darat laoetpadang peteng woes kawios
58. pan amoeng ingkang modjoedwahja djatmika djronoing gaiboepan ing
kono soehoele denira moepidtan pae-pinae djoemboehnora sidji nora loro
(Centhini, I-II:262)
Ungkapan ing kono soehoele denera moepid tan paaepinae djoemhoe nora
sidji nora loro mencerminkan manunggaling kawula gusti, atau dalam istilah lain
Tuhan diibaratkan sebagai dalang yang memainkan wayangnya di belakang kelir.
Bayangan yang ada dalam kelir itu lah manusia.
Ungkapan seperti itu sering digunakan oleh para tokoh sufi seperti Ibnu
Arabi, Jili atau Rumi. Kiasan ini berkaitan dengan objek dan bayangannya.
Al-Hak disebut sebagai objek yang bayangannya terpantul dalam cermin atau kelir
yang berbeda-beda. Ungkapan yang dipakai dalam pustaka Centhini atau dalam
Wirid Hidayat Jati dan karya suluk lainnya yang ada di Jawa disebabkan oleh
besarnya pengaruh kitab Al-Insan Kamil, karya Abdul Karim al-Jili pada mistik
Islam di Jawa. (Di dalam Centhini memang menyebut kitab Insan Kamil. Centhini,
jilid I-II, hlm 231. Di dalam Centhini I-II, hlm. 223, pupuh 73, Centhini
III-IV, hlm. 177, pupuh 196). Namun dalam keterangan lain Seh Amongraga
menyadarkan istrinya bahwa manunggaling kawula gusti itu sulit dimengerti dan
mohal, “hal ini perlu kau sadari yayi, tiada gusti, tiada kawula, ya gusti
sekaligus kawula, gusti yang bersifat kawula dan kawula yang bersifat gusti.
Mohal yayi, bagaimana, dua jadi satu yang gaib, tiada satu tiada pisah, tiada
dua tiada satu, tidak sulit tetapi juga tidak mudah dimengerti, dua menjadi
satu, bisa silit bisa mudah dimengerti, wujud Tuhan juga wujud kita.” Hal ini
terungkap dalam pupuh 47-48:
47. woejoed makal djatinekabasa makal ikoe kajipatemon kaoela
goestiikoe makal namaniradatan gusti ia kaoelagoestik kang sipat kaoelakaoela
kang sipat gusti
48. jaji ia ikoe makalgaibing roroning toenggalnora toenggal nora
pisahtan kekalih tan sadjoeganora ewoeh nora gampangloro-loroning atoenggalia
ewoeh ia gampangananing hjang woedjoed kita (Centhini, III-IV:28).
Ungkapan tersebut memberi kesan sebagai rumusan tentang transendensi
dan imanensi, yang pada hakekatnya juga bersifat tunggal, tetapi juga tan
tunggal, loro tetapi juga tan loro, apa yang dikenal sebagai imanensi dan
transendensi.
Memperhatikan perkembangan problem tersebut sepanjang pemikrian
filsafat dapat diambil sau kesimpulan, inti permasalahannya adalah di sekitar
adanya Tuhan, sifat-Nya, tanpa mengurangi kemahaesaan Tuhan itu sendiri.
Uraian itu harus pula memberikan penjelasan tentang hubungan adanya
manusia dan dunia, sifat manusia dan dunia, dengan adanya kemungkinan
terjadinya hubungan antara manusia dan dunia itu dengan Tuhan, tanpa
mengingkari ajaran tentang hakikat dan kodrat manusia itu sendiri.
Konsep transendensi menunjuk kepada Tuhan yang maha esa dan maha mutlak
mengatasi segala sesuatu. Konsep imanensi menunjuk kepada hubungan dan
kehadiran Tuhan dalam dunia dan manusia. Pendekatan ini dapat bertitik tolak
dari transendensi untuk kemudian dijabarkan sampai kepada wilayah imanensi.
Akan tetapi timbul masalah, apakan transendensi itu dijabarkan oleh pengetahuan
manusia yang terbatas? Pendekatan ini biasanya bertitik tolak dari manusia,
untuk selanjutnya sampai kepada Tuhan yang maha transenden, akan tetapi
masalahnya, apakah mungkin manusia membuat loncatan dari kategori imanensi
memasuki kategori transendensi, dari kategori keterbatasan memasuki kategori
yang tidak terbatas?
Jawaban yang diberikan selalu tidak memuaskan, mungkin jawaban yang
diberikan selalu memakai logika paradoks yang dalam logika dikenal dengan
principum negation berjalan seiring dengan principium identitatis, seperti
dalam Centhini, “tunggal, tapi juga tan tungggal, loro tapi juga tan loro”.
Kalau sudah demikian biasanya sang mistikus lalu membuat loncatan untuk
penyatuan dan peleburan ke dalam Tuhan. Dan loncatan untuyk penyatuan dan
peleburan ke dalam Tuhan. Dan loncatan itu telah diperagakan oleh Seh Amongraga
dalam centhini, yaitu dengan dzikir yang dihubungkan dengan pengaturan
pernafasan.
Model dzikir dengan pengaturan pernafasan seperti dalam Centhini
terdapat di Sumatera, yaitu yang diajarkan oleh Abdus Somad Al-Palimbani.
Menurut Al-Palimbani, bahwa orang yang sedang berdzikir itu terkadang berlaku
atas lidahnya itu: Allah, Allah, Allah, atau Hu, Hu, Hu, atau La, La, La atau
A, A, A atau Ah, Ah, Ah atau Hi, Hi, Hi, atau dengan tiada huruf atau ia
menggetar, karena telah ghalib atas dzikir itu (Quzwain, 1985:125). Kemudian ia
menerangkan caranya sebagai berikut:
1. Duduk menghadap kiblat seperti duduk di dalam sembahyang, lalu
menarik ucapan lailaha dari atas pusat dengan niat menafikan barang yang lain
daripada Allah dari dalam hati, sedangkan ilallah diucapkan dengan niat
menyampaikannya ke dalam hati sanubari, sambil menggerakkanb kepala ke kiri dengan
mengingatkan maknanya.
2. Duduk seperti tersebut diatas sambil mengingat kebesaran Tuhan,
tenggelam di dalam keagungan dan keindahan-Nya serta memandang syaikh pada
permulaan memasuki dzikir yang dimulai dari tangan kiri sambil menundukkan
kepala dan mengingat kehinaan diri serta ketergantungannya kepada Tuhan; kata
la ditarik dari lutut kiri ke lutut kanan dn dinaikkan ke bahu kanan dengan
lafal ilaha sambil mengangkat kepala ke arah itu, lalu dipukulkan ke hati
dengan lafal illallah; sedangkan pada permulaan dzikir itu pada lutut kiri
diangkatkan makna la ma’buda illallah, pada lutut kanan la maqsuda illallah
(tiada yang dituju selain Allah) pada bahu kanan la maujuda illallah dan pada
hati la matluba illallah.
Pada akhir dzikir dilanjutkan kata hu illallah sambil menahan nafas
menantikan al-faidul ilahi seperti tersebut tadi (Quzwain, 1985:125).
Tampaknya cara dzikir yang terdapat dalam Centhini dan apa yang
diajarkan oleh Al-Palimbani ada kemiripan, seperti dalam pengucapan lafal dan
cara duduk. Namun juga ada perbedaan yang cukup mencolok, seperti dalam
Centhini cara bertawassul tidak disebut. Demikian juga dalam Centhini lafal
yang inti pada awal permulaan adalah la maujuda illallah dengan konsentrasi
penuh kepada zat yang wajib wujud; sedang model Al Palimbani, konsentrasi penuh
kepda makna la-ilaha ilallah terdiri atas tiga tingkatan:
1. la ma’buda illallah2. la matluba illallah3. la maujuda illallah
Satu lagi yang tidak dilakukan oleh Al Palimbani adalah klasifikasi
napas sebagaimana dalam Centhini. Al Palimbani hanya menyebut napas (yang
keluar dari hidung). Dalam Centhini nafas diklasifikasikan menjadi napas,
anapas, tanapas dan nupus, yang masing-masing berbeda. Penjelasan Seh Amongraga
adalah bahwa nafas yang keluar dari mulut kita ini, anapas adalah nafas yang
keluar dari mulut kita ini, anapas adalah nafas yang keluar dari telinga kita,
tanapas dan nupus adalah nafas yang keluar dari mata dan hidung (Centhini,
III-IV:26). Penjelasan lain yang berkaitan dengan klasifikasi napas adalah dikaitkan
dengan asal rukuk (dalam shalat). Di sini Seh Amongraga memberikan penjelasan
secara simbolis kepada istrinya Niken Tembanglaras yang berkaitan dengan gerak
lahiriah salat sebagai berikut:
1. Berdirinya salat berasal dari geni, yaitu geni atau api yang
mempunyai empat sifat, roh ilapi, roh nurani dan rahmani (doedoe geni ingkang
moerob mati ingkat sifat patang prekara, ilapi sedjatine, roh rahmani, ikoe
noerani lan roh raekani) (Centhini, I-II:190).
2. Rukuk berasal dari angin, bukan angin biasa atau angin ribut, tetapi
angin yang mempunyai empat sifat, napas, anapas, tanapas dan nupus. Nupus
adalah ru’ya, ru’ya adalah benih hidup, yang hidup salatmu, yayi. Pupuh 7:
8. roekoek ikoe angsal saking angindoedoe angin barat lesoes
badjradoedoe kang goemrebeg kijele angin poenikoekang sipat kawan prekawisnapas
anapas tanapasping pate noepoesnoepoes wiwinihing roehjatroehjat ikoe apan
wiwinihing oeripwong oerip salatira (Centhini, I-II:199)
3. Sujud berasal dari warih, warih yang mempunyai empat sifat, yaitu
roh robani, roh nabati, roh hewani dan roh jasmani. (Centhini, I-II:199).
4. Duduk shalat dari bumi. Nah disini Seh Amongraga sudah macam-macam
lebih jauh. Bumi yang mempunyai empat sifat yaitu wadi, madi, mani dan manikem.
Manikem adalah benih keabadian yang tidak berubah, yaitu salat kita (salat
daim) (Simuh, 1983:332-4; Centhini, I-II:58).
Di bagian lain berbagai istilah seperti wadi, madi, mani dan manikem
mendasari pandangan kosmologi Seh Amongraga. Di dalam serat Wirid Hidayat Jati
istilah tersebut berkaitan dengan konsep martabat tujuh (Simuh, 1988:332-4).
Keterangan yang cukup terperinci tentang dzikir yang dihubungkan dengan
pengaturan pernapasan dan latihannya disampaikan Amongraga kepada istrinya,
sebagai berikut:
1. Memberi keterangan tentang tata cara untuk bersatu dengan Tuhan,
supaya mudah dan terbiasa, maka perlu belajar tentang empat hal.
2. Empat hal tersebut adalah syari’at wirid, tarekat wirid, hakekat
wirid dan ma’rifat wirid, dan itu wajib diketahui yayi.
3. Syariat wirid adalah mengucapkan sahadat tiada Tuhan selain Allah
dengan mengikuti keluarnya nafas, tanazub mukaranah dengan berkata dalam hati:
la ilaha illallah, yang menjadikan segala sesuatu. Demikian seharusnya
ciptaanmu yayi, tak boleh diselipi dengan kata apapun.
4. Tarekat wirid adalah mengucap lafal illallah, illallah mengikuti
anapas yang keluar masuk, tanazub mukaranah, katanya di dalam hati, bahwa hanya
Allah lah yang aku sembah. Demikian seharusnya yayi, tidak boleh tidak, dan
jangan diselipi pikiran yang lain.
5. Hakikat wirid adalah mengucapkan lafal Allah, Allah, mengikuti
tanafas yang keluar masuk, tanazub mukaranah, kata hatimaknawi, angandel
njataning Allah, aku percaya kepada kenyataan Allah, demikian seharusnya
ciptaanmu, tak boleh diselipkan pikiran yang lain.
6. Ma’rifat wirid mengucapkan lafal Hu, Hu, Hu mengikuti keluarnya
nupus, tanazub mukaranah, kata hati sirri, “Allah adalah hidup yang kekal”,
demikian tak boleh tidak yayi. Lihat pupuh 25-30 di bawah ini.
25. lah kawroehana deniramoenggoeh lakoene kang bengatkoedoe pinrih
lobok lanjahlanjahe koedoe anetahsaking patang prekaranjasarengat ing
wiridiralawan larekating wiridmiwah kakekating wirid
26. toewin makripating wiridikoe jaji wroehanirasarengating wirid
ikaneboet sawidji kalimahpan la ilaha illalahnoet pandjing wektoening
papastanasoebing moekaranahngling ati sanoebari
27. ja la ilah ilalahpan ora nana Pangerananging Allah ingkang esakang
dadeken sedajakoedoe mengkono tjiptanjatan kena keselan basaing dalem
sadjroning tjiptadening tarekating wiri
28. lapal ilalah ilalahnoet anpas kang mandjing medaltanasoebing
moekaranahpamoewoesing ati poeadanging Allah kang soen sembahpan mengkono tan
kenorajaji jwa kanti kaselanlian osik kang kadyeka
29. dene kakekating wiridlapalira Allah-Allahnoet tanapas mandjing
medaltanasoebing moekaranahoenining ati maknawiangandel njataning Allahkoedoe
mengkono kang tjiptatan kena kaselan lian
30. dene makripating wiridhoe hoe hoe lapalirapan anoet wetoening
noepoestanasoebing moekaranahpakmoewoesing ati siriAllah pan oeripe
langgengmengkono tan kena noraana dene napas ika (Centhini, III-IV:26)
Dari berbagai keterangan tersebut, jelas sekali bahwa dzikir dan
pengaturan pernapasan sebagai alat untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan
mendapat perhatian yang cukup luas oleh Seh Amongraga. Pengaturan napas,
anapas, tanapas dan nupus tampaknya mendapat perhatian juga di dalam Wirid
Hidayat Jati. Di dalam Wirid Hidayat Jati terkumpul di Baitul Makmur,
diciptakan kembali menjadi nukat gaib (Simuh, 1988:551). Baik dalam Centhini
maupun dalam Wirid Hidayat Jati maupun dzikir yang dianjurkan oleh Al-Palimbani
sama-sama memperhatikan gerak anggota jasmani yang harus diselaraskan dengan
batin dalam menghayati makna lafal la ilaha illallah. Tampaknya, tata cara
menekung (dalam Wirid Hidayat Jati), merupakan perpaduan dari wirid yang
disertai dengan mengatur jalannya pernafasan (Simuh, 1988:553).
Adanya dzikir yang dihubungkan dengan pengaturan pernafasan, baik di
kalangan tarekat maupun di dalam berbagai ajaran suluk banyak dihubungkan
dengan pengaruh Hindu maupun Budha. H.M. Rasyidi berpendapat bahwa cara
menekung model Wirid Hidayat Jati banyak dipengaruhi oleh yoga. Demikian juga
unsur seks yang mendapat perhatian, baik di dalam Centhini, Gatoloco,
Darmogandul maupun Suluk Seh Siti Jenar mungkin mendapat pengaruh dari
tantrisme maupun maithuna.
Dzikir dalam bentuknya yang sudah berkembang biasanya dihubungkan
dengan jenis pengaturan nafas. Sahl mengemukakan gagasan bahwa “napas dihitung”
setiap napas yang keluar tanpa mengingat Dia adalah mati, tetapi setiap napas
yang keluar dengan mengingat Tuhan adalah hidup dan berhubungan dengan Dia”
(Schimmel, 1981:173). Tak dapat ditentukan kapan tepatnya berbagai metode
pengaturan napas diterima dalam aliran tasawuf, tetapi semua yang telah
melakukan dzikir dalam tradisi agama apapun, apakah dengan do’a Yesus yang
dilakukan oleh para rahib Yunani atau dengan nama Amida Butsu oleh para
penganut Budhisme Amida, mengetahui bahwa konsentrasi tanpa pengaturan napas
nyaris tak mungkin. Jami melestarikan ajaran gurunya sendiri dalam tradisi awal
aliran Naqsyabandiyah. Khwaja ‘Attar berkata: “tujuan berdzikir ialah agar
tidak banyak bicara; dengan satu tarikan nafas diucapkan tiga kali la ilaha
illallah, dimulai dari sisi kanan di bawa turun ke hati, dan mengucapkan
Muhammad Rasul Allah dari sisi kiri (Schimmel, 1981:173). Ulangan sembilan kali
atau delapan belas kali dalam satu tarikan nafas juga mungkin. Dalam akhir abad
pertengahan, khususnya di Afganistan dan India, dilakukan habs-i dam yaitu
menahan nafas untuk waktu yang lama. Teknik yang menimbulkan pertentangan ini
mungkin mengungkapkan pengaruh dari pada sufi pertama India (Schimmel,
1981:173).
“Sha’rani, yang dengan baik menafsirkan tasawwuf di Timur Tengah dalam
abad ke-16, menguraikan tentang tujuh jenis dzikir: dhikr al-lisan, dengan
lidah, dhikr an-nafs, yang tidak terdengar, tetapi berdiri atas gerak dan rasa
di dalam, dhikr al qalb, dengan hati, apabila hati merenungkan keindahan dan
keagungan Tuhan di dalam dirinya; dhikr ar-ruh, bila pelaku mistik yang
bersemadi mengamati cahaya sifat-sifat; dhikr as-sir; dhikr al-khafiy; dhikr
rahasia, artinya penglihatan cahaya keindahan daripada kesauan sejati; dan
akhirnya dhikr akhfa al-khafi, rahasia segala rahasia, yaitu penglihatan realitas
kebenaran mutlak (haqq al-yaqin)” (Schimmel, 1981:173).
Tradisi Naqstabandi mengajarkan dzikir lima lataif, yaitu titik-titik
halus dalam batin yang harus dijadikan pusat dzikir sampai seluruh ujudnya
berubah bentuk. Penggambaran tentang pelaksanaan teori ini pada akhir abad
XVIII diberikan oleh Mir Dard. Ia menggambarkan Dhikr Qalbi yang bertempat di
dada sebelah kiri dan diucapkan dengan cinta dan kerinduan; Dhikr Ruhi,
dilakukan di dada sebelah kanan dengan sunyi dan tenang, Dhikr Sirri, yang
dilafalkan dalam keakraban, dekat dada sebelah kiri; Dhikr Khafawi yang
dilakukan dekat sudut dada sebelah kiri, dan bertujuan mengesampingkan dan
mematikan diri, dan Dhikr Akhfawi di tengah-tengah dada, tanda peleburan dan
penyatuan. Dzikir lalu diteruskan ke otak dalam kepasrahan sempurna (dhikr
nafsi’ dengan nafs qaddisa, yaitu jiwa yang disucikan) dan akhirnya meresapi
segenap wujud, badan dan jiwa. Pada saat itu manusia mencapai dzikir dan damai
yang sempurna – itu adalah Dhikr Sulthani. Seperti juga sufi yang lain, Dard
berkukuh bahwa untuk itu dituntut latihan terus menerus; dzikir adalah obat
untuk jiwa dan dokter harus memperoleh ketrampilannya dengan berbuat dan bukan
dari buku (Schimmel, 1981:175).
Satu hal yang menjadi catatan disini berhubungan dengan jalan mistik
yang ditempuh atau yang diwejangkan Seh Amongraga kepada istrinya, yaitu tujuan
yang hendak dicapai. Seperti telah disebutkan terdahulu bahwa di dalam Centhini
sebagaimana yang diwejangkan oleh Seh Amongraga, salat, dzikir dan pengaturan
pernafasan sebagai sarana untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan yang dalam
Centhini disebut panakoel. Namun penjelasan tentang fana dan baqa dalam berma’rifat
dengan Tuhan sebagal hal dalam Centhini tidak jelas. Oleh karena itu ada kesan
bawa konsep kunci dalam ajaran tasawwuf seperti hal dan maqam tidak dikaji
secara serius oleh para pengarang Centhini.
D. Peranan Akhir Seh Amongraga dan Misi Pengarang Centhini
Untuk melengkapi tulisan ini akan dikemukakan peranan akhir Seh
Amongraga dan misi yang diemban oleh para pengarang Centhini.
Seh Amongraga pada tahap akhir pengembaraannya digambarkan oleh
pengarang Centhini sebagai orang yang menyimpang, mengajarkan ilmu sejati dan
sebagai petapa yang mencari kekuatan gaib, untuk membalas dendam kepada rezim
Sultan Agung atas kekalahan Giri. Di sini peranan Seh Amongraga menjadi orang
yang tidak saleh lagi, selalu mengganggu stabilitas kerajaan Mataram dan
merongrong kewibawaannya. Karena itu akhirnya dihukum mati dengan dilemparkan
ke Laut Selatan dan hal ini dilakukan oleh Tumenggung Wiraguna atas perintah
Sultan Agung (Soebardi, 1975:40).
Dengan demikian peranan Seh Amongraga bertentangan dengan yang telah
dikemukakan terlebih dahulu. Peranan akhir Seh Amongraga mirip dengan Seh Siti
Jenar dan Sunan Panggung dan Ki Bebeluk. Para tokoh ini semuanya dieksekusi.
Yang pertama dihubungkan dengan kerajaan Mataram, yang kedua dihubungkan dengan
masa kerajaan Giri, yang ketiga dihubungkan dengan masa kerajaan Demak, dan
yang terakhir dihubungkan dengan masa kerajaan Pajang.
Peranan Seh Amongraga tahap akhir yang mengajarkan ilmu sejati, menurut
S. Soebardi diwarisi dari konsep dasar pustaka Centhini yang asli, yang ditulis
untuk menggambarkan Seh Amongraga sebagai pengikut tradisi Seh Siti Jenar
(Soebardi, 1975:40). Dengan menempatkan Seh Amongraga pada masa Sultan Agung,
barangkali penulis Centhini akan mempertahankan kelangsungan tradisi Seh Siti
Jenar dan Giri.
Ada pun masuknya unsur Islam (murni) ke dalam pustaka Centhini
merupakan indikasi maksud penulis Centhini untuk memperlihatkan simpati dari
kraton terhadap Islam yang murni yang mementingkan syari’at (Soebardi,
1975:40).
Sikap istana terhadap syariat perlu dimengerti dalam konteks tradisi
Jawa. Syariat seperti yang telah diwejangkan oleh Seh Amongraga adalah sebagai
wadah sakelir yang merupakan bungkus sistem kepercayaandan bukan merupakan wiji
nugraha (inti). Dari sudut tradisi Jawaisme, perubahan wadah dengan menyatakan
doro seorang mukmin yang menjunjung syariat tidak menimbulkan halangan asal
orang yang bersangkutan tetap memelihara Jawanya dalam usaha mencapai ma’rifat
yang dalam bahasa Jawanya disebut pamoring kawulo gusti.
Dengan demikian Seh Amongraga ditampilkan secara simbolis oleh
pengarang Centhini sebagai seorang aristokrat yang menganut faham kehidupan
agama yang sinkretis. Sikap untuk mendamaikan dua agama yang berbeda tampaknya
telah mengacu pujangga kraton semenjak Yasadipura I di bagian abad XVIII untuk
dijadikan tema pokok dalam literatur kraton. Ataukah hal ini merupakan indikasi
penting dari penguasa pada waktu itu dan pujangganya berkaitan dengan
merosotnya wibawa kraton yang menjadi kenyataan di akhir abad ke XVIII? Mungkin
hal ini bisa menjadi proyek penelitian yang menarik.
E. Kesimpulan dan Penutup
Setelah menyajikan uraian dalam tulisan ini perlu kiranya untuk diambil
kesimpulan sebagai berikut:
Pustaka Centhini asalnya termasuk sastra suluk. Inti ajarannya adalah
wejangan Seh Amongraga untuk mencapai “kesempurnaan hidup” yaitu bersatunya
hamba dengan Tuhan. Penjelasan dan wejangan tentang Seh Amongraga dalam bentuk
dialog, yang masing-masing topik dibawakan secara sederhana dan dengan cara
yang tidak teratur dan tidak sistematis.
Susunan jalan menuju hidup sempurna (syariat dan tarekat sebagai wadah
sakelir, dan hakikat bersama ma’rifat sebagai wiji nugraha) seperti yang
diwejangkan oleh Seh Amongraga bukan merupakan sesuatu yang baru, sebab problem
tersebut sudah disinggung dalam primbon abad XVI maupun oleh Hamzah Fanzuri.
Salat dan dzikir serta pengaturan pernafasan dalam pustaka Centhini
sebagaimana yang diajarkan Seh Amongraga kepada istrinya menjadi sarana untuk
mendapat kesatuan dengan Tuhan. Pengucapan lafal nafi isbat harus bertepatan
dengan pengaturan pernafasan, yaitu napas, anapas, tanapas dan nupus. Namun
kesatuan hamba dengan Tuhan yang merupakan konsep fana (panoel) dalam pustaka
Centhini merupakan hal tidak jelas.
Ada kesan bahwa dzikir yang dihubungkan dengan pengaturan pernafasan
merupakan indikasi atas semua yang universal dalam laku mistik, sebagaimana
mistik sebagai arus kerohanian yang mengalir dalam semua agama.
Peranan ganda yang dimainkan oleh Seh Amongraga yang diberikan
pengarang Centhini sebenarnya mengandung misi untuk menyelaraskan agama dan
tradisi jawa, yaitu tradisi yang bermuara dari Seh Siti Jenar, Sunan Panggung,
Ke Bebeluk dan Seh Amongraga dengan Islam murni yang legalistik.
Posting Komentar