Serat Kekiyasaning Pangracutan
karya
Sultan Agung Hanyakrakusuma
tulisan oleh:
Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2001
Serat Kekiyasaning Pangracutan adalah salah satu buah karya sastra
Sultan Agung Raja Mataram (1613-1645) dan sumber penulisan Serat Wirid Hidayat
Jati yang dikarang oleh R.Ng Ronggowarsito karena ada beberapa bab yang
terdapat pada Serat Kekiyasaning Pangracutan terdapat pula pada Serat Wirid
Hidayat Jati. Pada manuskrip huruf Jawa Serat Kekiyasaning Pangracutan tersebut
telah ditulis kembali pada tahun shaka 1857 / 1935 masehi. Disyahkan oleh
pujangga di Surakarta R. Ng.
Rongowarsito
SARASEHAN ILMU KESAMPURNAAN
Ini adalah keterangan Serat tentang Pangracutan yang telah disusun
Baginda Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma Panatagama di Mataram atas perkenan
Beliau membicarakan dan temu nalar dalam hal ilmu yang sangat rahasia, untuk
mendapatkan kepastian dan kejelasan dengan harapan dengan para ahli ilmu
kasampurnaan.
Adapun mereka yang diundang dalam temu nalar itu oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma
Panatagama adalah:
I. Panembahan Purbaya
II. Panembahan Juminah
III. Panembahan Ratu Pekik di Surabaya
IV. Panembahan Juru Kithing
V. Pangeran Kadilangu
VI. Pangeran Kudus
VII. Pangeran Tembayat
VIII. Pangeran Kajuran
IX. Pangeran Wangga
X. Kyai Pengulu Ahmad Kategan
***
A. Berbagai kejadian pada jenasah
Adapun yang menjadi pembicaraan, Beliau menanyakan apa yang telah
terjadi setelah manusia itu meninggal dunia, ternyata mengalami bermacam-macam
kejadian pada jenazahnya.
a. Ada yang langsung membusuk
b. Ada jenasah yang masih utuh
c. Ada yang hilang bentuk jenasahnya? tidak berbentuk lagi
d. Ada yang meleleh menjadi cair
e. Ada yang menjadi mustika (permata)
f. Istimewanya ada yang menjadi hantu
g. Bahkan ada pula yang menjelma menjadi hewan
Masih banyak pula kejadian lainnya, bagaimana itu bisa terjadi, apa
penyebabnya. Ini disebabkan adanya kelainan atau salah kejadian (tidak wajar),
makanya pada waktu hidup berbuat dosa, setelah menjadi mayat pun akan mengalami
sesuatu, masuk kedalam alam penasaran. Karena pada saat proses sakaratul maut
hatinya menjadi ragu, takut, kurang kuat tekadnya, tidak dapat memusatkan
pikiran hanya pada satu jalan yaitu menghadapi maut, seperti yang akan
diutarakan dibawah ini:
a) Pada waktu masih hidup, siapapun yang senang, tenggelam dalam
kekayaan, kemewahan, tidak mengenal tapa brata, setelah mencapai akhir
hayatnya, maka jenasahnya akan menjadi busuk dan kemudian menjadi tanah liat,
sukmanya melayang gentayangan, diumpamakan bagai rama-rama tanpa mata.
Sebaliknya bila pada saat hidupnya gemar menyucikan diri lahir batin, hal itu
sudah termasuk lampah, maka kejadiannya tidak demikian.
b) Pada waktu masih hidup bagi mereka yang kuat puasa tetapi tidak
mengenal batas waktunya, bila telah tiba saat kematiannya, maka mayatnya akan
teronggok menjadi batu dan membuat tanah pekuburannya menjadi sangar, adapun
rohnya akan menjadi Danyang Semorobumi. Walaupun begitu, bila pada masa
hidupnya mempunyai sifat nerima, sabar, artinya makan, tidur, tidak
bermewah-mewah, cukup seadanya dengan perasaan tulus lahir batin kemungkinanya
tidak akan seperti diatas kejadian di akhir hidupnya.
c) Pada masa hidupnya seseorang yang menjalani lampah tidak tidur,
tetapi tanpa batas waktu tertentu, pada umumnya disaat kematian kelak
jenasahnya akan keluar dan menjadi berbagai hantu yang menakutkan. Adapun
sukmanya menitis pada hewan. Walaupun begitu bila pada masa hidupnya disertai
sifat rela dan ada batas waktunya, yang demikian itu pada waktu meninggal tidak
akan keliru jalannya.
d) Siapapun yang melantur dalam mencegah syahwat atau hubungan seks,
tanpa mengenal waktu, pada saat kematian kelak jenasahnya akan lenyap melayang,
masuk kedalam alamnya jin setan dan roh halus lainnya, sukmanya sering menjelma
dan menjadi semacam benalu atau menempel pada orang, seperti genderuwo dan
sebagainya yang masih senang menggangu wanita, kalau berada dipohon yang besar,
kalau pohon dipotong maka benalu tadi akan ikut mati. Walaupun begitu, bila
pada masa masih hidup disertakan sifat jujur, tidak berbuat mesum, tidak
berzinah, bermain seks dengan wanita yang bukan haknya, semua itu bila tidak
dilanggar tidak akan begitu kejadiannya.
e) Pada waktu masih hidup selalu sabar dan tawakal, dapat menahan hawa
nafsu, berani dalam lampah dan menjalani mati didalam hidupnya, misal
mengharapkan agar jangan berbudi rendah, rona muka manis, tutur kata sopan,
sabar dan sederhana, semuanya itu jangan sampai berlebihan dan haruslah tahu
tempatnya situasi dan kondisi, yang demikian itu maka keadaan jenasahnya akan
mendapat kemulyaan sempurna dalam keadaan yang hakiki, kembali menyatu dengan
Dzat Pangeran Yang Maha Agung, yang dapat menghukum, dapat menciptakan apa
saja, ada bila menghendaki, datang menurut kemauannya.
Apalagi disertakan sifat welas asih, akan abadilah menyatu Kawula
Gusti.
B. Berbagai jenis Kematian.
a) Mati Kisas adalah suatu jenis kematian karena hukuman mati. Akibat
dari perbuatan orang itu karena membunuh, kemudian dijatuhi hukuman karena
keputusan pengadilan atas wewenang raja.
b) Mati Kias adalah jenis kematian yang diakibatkan oleh suatu
perbuatan, misalnya menahan nafas atau mati karena melahirkan.
c) Mati Syahid adalah jenis kematian karena gugur dalam perang,
dibajak, dirampok dan disamun.
d) Mati Salih adalah suatu jenis kematian karena kelaparan, bunuh diri,
karena mendapat aib atau sangat bersedih.
e) Mati Tiwas adalah suatu jenis kematian karena tenggelam, tersambar
petir, tertimpa pohon, jatuh karena memanjat pohon, dan sebagainya.
f) Mati Apes adalah suatu jenis kematian karena ambah-ambahan, epidemi,
santet, tenung dari orang lain, yang demikian itu benar-benar tidak dapat
sampai pada “Kematian yang Sempurna” atau keadaan Jati bahkan dekat sekali
dengan alam penasaran.
Berkatalah Beliau: “Sebab-sebab kematian tadi yang mengakibatkan
kejadiannya lalu apakah tidak ada perbedaannya antara yang berilmu dengan yang
bodoh? Andaikan yang menerima akibat dari kematian seornag pakarnya ilmu
mistik, mengapa tidak dapat mencabut seketika itu juga?”
Dijawab oleh yang menghadap: “Yang begitu itu mungkin disebabkan karena
terkejut menghadapi hal-hal yang tiba-tiba. Maka tidak teringat lagi dengan
ilmu yang diyakininya dalam batin yang dirasakan hanyalah penderitaan dan rasa
sakit saja. Andaikan dia mengingat keyakinan ilmunya mungkin akan kacau didalam
melaksanakannya tetapi kalau selalu ingat petunjuk-petunjuk dari gurunya maka
kemungkinan besar dapat mencabut seketika itu juga”.
Setelah mendengar jawaban itu beliau merasa masih kurang puas menurut
pendaat beliau bahwa sebelum seseorang terkena bencana apakah tidak ada suatu
firasat dalam batin dan pikiran, kok tidak terasa kalau hanya begitu saja
beliau kurang sependapat oleh karenanya Beliau mengharapkan untuk
dimusyawarahkan sampai tuntas dan mendapatkan suatu pendapat yang lebih masuk
akal.
Kyai Ahmad Katengan menghaturkan sembah: “Sabda paduka adalah benar,
karena sebenarnya semua itu masih belum tentu , hanyalah Kangjeng Susuhunan
Kalijogo sendiri yang dapat melaksanakan ngracut”.
Sebab-sebab inilah yang membuat dan mengakibatkan kejadian, seandainya
dapat meracut seketika dalam keadaan terkejut atau tiba-tiba, teringat dengan
apa yang diyakininya akan ilmunya maka akan dapat meracut seketika.
C. Wedaran Angracut Jasad.
Pangracutan Jasad yang dipergunakan oleh Susuhunan Kalijogo dan Syekh
Siti Jenar adalah sama, karena hanya mereka yang dapat meracut seketika dan
tiba-tiba, seperti dibawah ini ;
“Badaningsun jasmani wus suci, ingsun gawa marang kaanan (kahanan) jati
tanpa jalaran pati, bisa mulya sampurna waluya urip salawase, ana ing ‘alam
donya ingsun urip tumekane ‘alam kaanan (kahanan) jati ingsun urip, saka kodrat
iradatingsun, dadi sakciptaningsun, ana sasedyaningsun, teka sakarsaningsun.”
“Badan jasmaniku telah suci, kubawa dalam keadaan nyata (hidup yang
sesungguhnya), tidak diakibatkan kematian, dapat mulai sempurna hidup abadi
selamanya, di dunia aku hidup, sampai dialam nyata (hidup yang sesungguhnya,
akherat=Akhiring Rat) aku juga hidup,
dari kodrat iradatku, terjadi apa yang kuciptakan, apa yang kuinginkan ada dan datang apa yang kukehendaki”.
D. Wedaran Menghacurkan Jasad.
Adapun pesan beliau Kangjeng Susuhunan di Kalijogo sebagai berikut: “Siapapun
yang menginginkan dapat menghancurkan tubuh seketika atau terjadinya mukjijat
seperti para Nabi, mendatangkan keramat seperti para Wali, mendatangkan ma’unah
seperti para Mukmin Khas, dengan cara menjalani tapa brata seperti pesan dari
Kangjeng Susuhunan di Ampel Denta”.
a. Menahan hawa nafsu, selama seribu hari siang dan malam sekalian
b. Menahan Syahwat (Seks), selama seratus hari siang dan malam
c. Tidak berbicara, artinya membisu dalam empatpuluh hari siang dan
malam
d. Puasa padam api (pati geni) tujuh hari tujuh malam
e. Jaga, lamanya tiga hari tiga malam
f. Mati raga, tidak bergerak-gerak lamanya sehari semalam
Adapun pembagian waktunya dalam lampah seribu hari seribu malam itu
begini caranya:
a. Menahan hawa nafsu, bila telah mendapat 900 hari, lalu diteruskan
dengan
b. Menahan syahwat selama 40 hari lalu dirangkap juga dengan
c. Membisu tanpa berpuasa selama 40 hari. Adapun membisu bila sampai
pada 33 hari dilanjutkan dengan,
d. Pati geni selama 7 hari tujuh malam, setelah mendapat 4 hari 4 malam
dilanjutkan dengan
e. Jaga selama 3 hari tiga malam, bila sudah mendapatkan 2 hari 2 malam
dilanutkan dengan
f. Pati raga sehari semalam.
Adapun caranya untuk Pati raga adalah Tangan bersidakep kaki membujur
lurus dan menutup 9 lubang di tubuh, tidak bergerak-gerak, menahan berdehem,
batuk, tidak meludah, tidak berak, tidak kencing selama sehari semalam. Yang
bergerak hanya kedipan mata, tarikan nafas, anafas, tanafas, nufus, artinya
tinggal keluar masuknya nafas yang tenang jangan sampai tersengal sengal campur
baur.
Dengan ini dapat melimpahkan rasa syukur kepada anak cucu yang akan
ditinggal dan bahwa pemberian ampunan tu hanya pada waktu saat-saat memasuki
alam Sakaratulmaut tadi. Baginda Sultan Agung bertanya: “Apakah manfaatnya Pati
Raga itu?”
Kyai Penghulu Ahmad Kategan menjawab: “Adapun perlunya pati raga itu,
sebagai sarana melatih kenyataan, supaya dapat mengetahui pisah dan kumpulnya
Kawula Gusti, bagi para pakar ilmu kebatinan pada jaman kuno dulu dinamakan
dapat Meraga Sukma, artinya berbadan sukma, oleh karenanya dapat mendekatkan
yang jauh, apa yang dicipta jadi, mengadakan apapun yang dikehendaki,
mendatangkan sekehendaknya, semuanya itu dapat dijadikan suatu sarana pada awal
akhir. Bila dipergunakan ketika masih hidup di dunia ada manfaatnya, begitu
juga dipergunakan kelak bila telah sampai pada sakaratul maut.
Urutan dalam Kematian dan Apa yang harus Dilakukan
Walaupun hanya panuwunan, yang dilewati juga alam kematian, kalau
sampai lengah juga berakhir mati atau mati benar-benar. Adapun tata caranya
begini:
Sedakep dengan kaki lurus berdempet, menutup kesemua lubang, jari-jari
kedua belah tangan saling bersilang, ibu jari bertemu keduanya, lalu
ditumpangkan di dada. Dalam sikap tidur itu kedua belah kaki diluruskan, ibu
jari kaki saling bertemu, kontol ditarik keatas dan zakarnya sekalian, jangan
sampai terhimpit paha. Pandangan memandang lurus dari ujung hidung lurus ke
dada hingga tampak lurus melalui pusar hingga memandang ujung jari. Setelah
semuanya dapat terlihat lurus maka memulai menarik nafas tadi. Dari kiri
tariklah kekanan dan dari arah kanan tariklah kekiri. Kumpulnya menjadi satu
berada di pusar beberapa saat lamanya, maka tariklah keatas pelan-pelan jangan
tergesa-gesa. Kumpulkan nafas, tanafas, anafas, nufus diciptakan menjadi
perkara gaib. Lalu memejamkan mata dengan perlahan-lahan, mengatubkan bibir
dengan rapat, gigi dengan gigi bertemu. Pada saat itulah mengheningkan cipta,
menyerah dengan segenap perasaan yang telah menyatu, pasrah kepada Pangeran
kita pribadi. Setelah itu, lalu memantrapkan adanya Dzat, seperti dibawah ini:
Anjumenengkan Dzat :
“Ingsun Dzating Gusti Kang Asifat Esa, anglimputi ing kawulaningsun,
tunggal dadi sakahanan, sampurna saka ing kudratingsun”.
“Aku mengumpulkan Kawula Gusti yang bersifat Esa, meliputi dalam
kawulaku, satu dalam satu keadaan dari kodrat-Ku”.
Mensucikan Dzat:
“Ingsun Dzat Kang Amaha Suci Kang Sifat Langgeng, kang amurba amisesa
kang kawasa, kang sampurna nilmala waluya ing jatiningsun kalawan kudratingsun.”
“Aku sebenarnya Dzat Yang Maha Suci, bersifat kekal, menguasai segala
sesuatu, sempurna tanpa cacat, kembali pada hakekat-Ku, karena kodrat-Ku.”
Mengatur Istana :
“Ingsun Dzat Kang Maha Luhur Kang Jumeneng Ratu Agung, kang amurba
amisesa kang kawasa, andadekake ing karatoningsun kanga gung kang amaha mulya.
Ingsun wengku sampurna sakapraboningsun, sangkep, saisen-isening karatoningsun,
pepak sabalaningsun, kabeh ora ana kang kekurangan, byar gumelar dadi
saciptaningsun kabeh saka ing kudratingsun.”
“Aku Dzat yang Maha Luhur, yang menjadi Raja Agung. Yang menguasai
segala sesuatu, yang kuasa menjadikan istana-Ku, yang Agung Maha Mulia, Ku
Kuasai dengan sempurna dari kebesaran-Ku, lengkap dengan segala isinya
Keraton-Ku, lengkap dengan bala tentara-Ku, tidak ada kekurangan, terbentang
jadilah semua ciptaanKu, ada segala yang Ku-inginkan, karena kodrat-Ku.”
Meracut Jisim :
“Jisimingsun kang kari ana ing alam dunya, yen wis ana jaman karamat
kang amaha mulya, wulu kulit daging getih balung sungsum sapanunggalane kabeh,
asale saka ing cahya muliha maring cahya, sampurna bali Ingsun maneh, saka ing
kodratingsun.”
“Aku meracut jisim-Ku yang masih tertinggal di alam dunia, bila telah
tiba di zaman keramatullah yang Maha Mulia, bulu, kulit, kuku, darah, daging,
tulang, sungsum keseluruhannya, yang berasal dari cahaya, yang berasal dari bumi,
api, angin, bayu kalau sudah kembali kepada anasir-Ku sendiri-sendiri, lalu aku
racut menjadi satu dengan sempurna kembali kepada-Ku, karena kodrat-Ku.”
Menarik Anak :
“Aku menarik anak-Ku yang sudah pulang kerahmatullah, kaki, nini, ayah,
ibu, anak dan isteri, semua darah-Ku yang memang salah tempatnya, semuanya Aku
tarik menjadi satu dengan keadaan-Ku, mulia sempurna karena kodrat-Ku.”
Mengukut keadaan Dunia:
“Aku mengukut keadaan dunia, Aku jadikan satu dengan keadaanKu, karena
kodrat-Ku.”
Mendo’akan Keturunan:
“Keturunanku yang masih tertinggal di alam dunia, semuanya semoga
mendapatkan kebahagiaan, kaya dan terhormat, jangan sampai ada yang kekurangan,
dari kodrat-Ku.”
Mengamalkan Aji Pengasihan:
“Aku mengamalkan Aji pengasih, kepada semua mahkluk-Ku, besar, kecil,
tua, muda, laki-laki, perempuan, yang mendengar dan melihat semoga welas asih
padaKu, karena kodrat-Ku.”
Menerapkan Daya Kesaktian:
“Aku menerapkan Daya Kesaktian, kepada semua mahkluk-Ku, barang siapa
yang tidak mengindahkan Aku, akan terkena akibat dari kesaktian-Ku, karena
kodrat-Ku.”
Setelah begitu, maras menutup di hati, menimbulkan rasa sesak nafas,
oleh karenanya harus selalu ingat dan sentosa, jangan sampai kacau balau
pernapasannya, tanafas, anpas, nuppus tadi, karena nafas itu ikatan jisim,
berada di hati suweddha, artinya menjembatani fikiran yang suci, keadaanya
jadilah angin yang keluar saja. Tannapas itu talinya hati siri, letaknya di
pusar, keadaannya menjadi hawa yang berada dalam tubuh saja. Anpas itu adalah talinya
Roh, berada di dalam jantung, keadaannya hanyalah menjadi angin di dalam saja.
Nupus itu tali Rahsa, artinya berkaitan dengan Atma, berada di dalam hati pusat
yang putih, berada di pembuluh jantung, keadaannya menjadi angin yang kekiri
kekanan, dari ulah perbuatannya itu dapat meliputi segenap organ tubuh dan
rokhani.
Bila sudah begitu roh larut lalu terasalah kram seluruh organ tubuh,
mengakibatkan mata menjadi kabur, telinga menjadi lemas, hidungpun lemah lubang
hidung menciut, lidah mengerut, akhirnya cahaya suram, suara hilang, yang
tinggal hanyalah hidupnya fikir saja, karena sudah dikumpulkan urutan syare’at,
hakekat, tarekat, dan makrifat.
Syare’at itu lampahnya badan, berada di mulut
Hakekat itu lampahnya nyawa, berada di telinga
Tarekat itu lampahnya hari, berda di hidung
Makrifat itu lampahnya rahsa, berada di mata
Adapun yang ditarik terlebih dahulu adalah penglihatannya mata,
diumpamakan kaburnya kaca Wirangi, atau asalnya air Zam-zam Lalu rasanya mulut,
diumpamakan rusaknya jembatan Siratalmustakim, atau Ka’batullah.
Lalu penciumannya hidung, yang diumpamakan gugurnya gunung Tursina atau
robohnya gunung Ikrap Lalu pendengarannya telinga, diumpamakan hancurnya
sajaratulmuntaha, atau melorotnya Hajaratu’l Aswad. Kemudian tinggallah merasakan
nikmat pada seluruh bagian tubuh, melebihi kenikmatan ketika sedang bersenggama
pada saat sedang mengeluarkan rahsa, pada saat itulah batinlah suatu tekad yang
kuat, seperti diibaratkan huruf Alif yang berjabar (berfathah), diejer (kasroh
), da diepes ( berdlomah ) bunyinya menjadi: A. I. U
A artinya : Aku
I artinya : Ini
U artinya : Hidup ( urip )
Setelah itu menciptakan kerinduan kepada Dzat, bagaikan merindukan
kepada Dyah Ayu, supaya jangan sampai ingat kepada anak cucu yang ditinggalkan.
Karena akan keliru ciptanya yang akhirnya mengakibatkan melesetnya dari tujuan
yang sebenarnya. Semua itu tinggal menimbang pertimbangannya ciptanya pribadi,
didalam tiga pangkat :
a. Yang pertama, bila benar-benar sentausa, akan mendapatkan anugerah
dari Pangeran, dapat hidup diawal akhir, langgeng tidak mengalami perubahan.
b. Yang kedua, berhubung dicapai waluya sejati, padahal tidak mengalami
menderita sakit, atau tidak mempuyai dosa, maka dapat melakukan berbadan sukma.
c. Yang ketiga, bila didalam ciptanya masih ada rasa ragu-ragu,
bimbang, pada akhirnya hayatnya pasti akan menemukan tiwas ke tempat yang
salah.
Perbedaan Waktu di Akhirat dan di alam Dunia.
Di dunia sehari, diakhirat sebualan, di dunia sebulan di akhirat satu
tahun, sedangkan di Dunia satu tahun di Akhirat Sewindu, saksinya seperti orang
waktu mimpi.
Alam setelah Kematian
a. Kepala, adalah keadaan Baitulmakmur.
b. Otak, keadaannya Kanto, menyebabkan adanya Cahaya, menjadi terbuka
wajahnya.
c. Manik, keadaannya Pramana, menyebabkan adanya Warna, menjadi
terbukanya penglihatan.
d. Budi, keadaannya Pranawa, menyebabkan adanya Karsa, menjadi
terbukanya bicara.
e. Nafsu, keadaanya Hawa, menyebabkan adanya Suara, menjadi terbukanya
pendengaran.
f. Sukma, keadaannya Nyawa, menyebabkan adanya Cipta, menjadi
terbukanya penciuman.
g. Rahsa, keadaannya Atma, menyebabkan adanya Wisesa, menjadi
terbukanya perasa.
Inilah yang menjadi 3 larangan perbuatan yang menyimpan 3 keadaan; (1)
jangan mengumpat, jangan mengucapkan kata-kata cabul dan terhanyut pada
pemikiran yang tidak baik. (2) Jangan menimbulkan Budi yang bukan-bukan. (3)
Jangan melakukan perzinahan dengan bukan haknya atau akan menimbulkan gangguan
dalam kehidupannya membuat gelap alam sampai akhir hayatnya.
Karena keadaan Akherat yang akan dilalui 7 perkara, maka jangan
dianggap remeh :
“ Sesungguhnya Aku Dzat ysang Maha Pencipta dan Maha Kuasa, yang
Berkuasa menciptakan segala sesuatu, terjadi dalam seketika, sempurna karena
kodratKu, disitu sudah terbukti atas perbuatanKu, sebagai kenyataan kehendakKu,
terlebih dahulu Ku- ciptakan Hayyu bernama Sajaratul Yakin yang tumbuh dalam
alam Adam-makdum yang azali abadi. Setelah itu cahaya bernama Nur Muhammad,
lalu kaca bernama Mir’atul haya’i, kemudian nyawa bernama roh idlafi, lalu lampu
kandi, lalu permata bernama Darrah, akhirnya dinding-jalal bernama Hijab,
itulah yang menjadi penutup keberadaanKu”.
Penjelasannya satu-persatu begini :
1. Sajaratul Yakin, yang tumbuh dalam alam Adam-makdum yang azali
abadi, artinya pohon kehidupan yang berada dalam jagad yang sunyi senyap
segalanya, dan belum ada sesuatu apapun. Merupakan hakekat Dzat mutlak yang
kadim. Artinya; hakekat Dzat yang lebih dulu, yaitu Dzat Atma, yang menjadi
wahana alam Ahadiyat.
2. Nur Muhammad, artinya cahaya yang terpuji. Diceritakan dalam hadits
seperti burung Merak, berada dalam permata putih, berada pada arah sajaratul
yakin, itulah hakekatnya cahaya, yang diakui sebagai tajalinya Dzat di dalam
nukat gaib, sebagai sifatnya Atma, menyebabkan adanya alam Wahdat
3. Mir’atul haya’I, artinya kaca wirangi, tersebut dalam hadits berada
di depan Nur Muhammad, itulah hakekatnya pramana, diakui sebagai rahsa Dzat,
sebagai nama Atma, menyebabkan adanya alam Wahadiyat.
4. Roh Idlafi, artinya nyawa yang jernih, berasal dari Nur Muhammad,
itulah hakekat Sukma yang diakui sebagai keadaan Dzat sebagai tabirnya Atma,
menyebabkan adanya alam Arwah.
5. Kandil, artinya lampu tanpa api, berupa permata yang berkilauan
tergantung tanpa pengait disitulah keadaan nur muhammaddan tempat berkumpulnya
darah seluruhnya adalah hakekat angan-angan yang diakui sebagai bayangan Dzat,
sebagai ikatannya Atma, menyebabkan adanya alam Mitsal.
6. Darah, artinya permata, mempunyai sinar lima warna, satu tempat
dengan malaikat adalah hakekat Budi, diakui sebagai hiasannya Dzat, sebagai
pintunya Atma, menyebabkan adanya alam Ajsam.
7. Kijab, disebut dinding jalal, artinya tabir yang agung, keluar dari
permata yang lima warna pada waktu bergerak menimbulkan buih, asap, air, itulah
hakekat Jasad, yang diakui sebagai Wahana Dzat, sebagai tempat Atma,
menyebabkan adanya alam Insan Kamil. Inilah Jumenengnya Maghligainya Dzat,
ditata dalam Baiutllah menjadi 3 keadaan yang disebut dengan; Wedaran Triloka,
Wejangan Tribawana, Isinya 3 Dunia.
H. Wedaran Tribawana.
a) Ayat pertama, dinamakan terbukanya tata mahgligai Baitumakmur,
sebagai berikut; “Sebenarnya Aku
mengatur singgasana didalam Baitulmakmur, disitulah tempat kesenangan-Ku,
berada didalam kepala Adam, yang di dalam kepala itu yaitu dimak yaitu otak,
yang berada dalam dimak itu manik, di dalam manik itu pramana, adalah pranawa,
di dalam pranawa itu sukma, didalam sukma ada rahsa, didalam rahsa itu ada Aku,
tidak ada Pangeran hanya Aku Dzat yang meliputi di semua keadaan”.
b) Ayat kedua, dinamakan terbukanya susunan singgasana dalam
Baitulmuharram, sebagai berikut; ”
Sebenarnya Aku menata singgasana dalam Baitulmukharram, itulah tempat
larangan-laranganKu, yang berada didada Adam. Yang berada di dada Adam itu
hati, yang berada diantara hati itu jantung, di dalam jantung itu budi, didalam
budi itu jinem, di dalam jinem itu sukma, di dalam sukma itu rahsa, dan di
dalam rahsa itu Aku, tidak ada Tuhan kecuali Aku, Dzat yang meliputi keadaan”.
c) Ayat ketiga, dinamakan terbukanya susunan singgasana dalam Baitulmuqadas,
sebagai berikut; “Sebenarnya Aku menata
singgasana dalam Bitulmuqadas, rumah tempat yang Aku sucikan, berada di dalam
kontolnya Adam, yang berada dalam kontol itu pelir, yang berada dalam pelir itu
mutfah yakni mani, yang berada dalam mutfah adalah madi, dalam madi itu
manikem, dalam manikem itu rahsa, dalam rahsa itu Aku, tidak ada Tuhan kecuali
Aku, Dzat yang meliputi semua keadaan”.
I. Surga dan Neraka.
Surga atau sarwa arga, semua yang diperbuat selalu kebaikan semua orang
memujinya, sampai akhir hidup selalu dibicarakan orang dan kematiannya akan
disesali, disayangkan dan orang akan selalu membicarakan tentang
kebaikan-kebaikannya.
Neraka adalah perwujudan dari watak seseorang yang berkelakuan jelek
maka hidunya akan cacad di dunia bahkan sampai akhir hidupnya.
Maka dalam kitab Hidayatul hak kaik menyebutkan bahwa di zaman
Kelanggengan suatu sarana agar dapat naik ke surga haruslah naik Buraq atau
burung merak. Demikian tadi hanyalah merupakan perumpamaan saja. Buraq artinya
orang dapat masuk hati orang lain, membuat hati orang lain senang itulah merak
ati.
J. Tempatnya Iman, Tauhid dan Ma’rifat.
“Adapun letak Iman di dalam Eneng, letak Tauhid dalam Ening, letak ma’rifat
dalam enget”
K. Arti Jalal, Jamal, Kahar dan Kamal.
Adalah sebutah Tuhan dalam 4 bab, yaitu :
1. Tuhan Yang Maha Suci itu bersfat Jalal, artinya Besar, yang besar
itu Dzat-Nya, karena dapat meliputi seluruh alam.
2. Tuhan Yang Maha Suci itu bersifat jamal, artinya bagus, yang bagus
itu sifatNya, bukan pria, bukan wanita, juga bukan banci. Tidak ada asal, tidak
ada tempat, juga tidak hidup dan tidak mati, mustahil tidak ada pasti
adanya-Nya.
3. Tuhan Yang Maha Suci bersifat
Kahar, artinya Maha Kuasa, itu namaNya, tidak menggunakan nama siapa-siapa
hanya gaibnya Dzat Allah.
4. Tuhan Yang Maha Suci itu
bersifat Kamal, artinya Sempurna, yang sempurna itu af’alNya, dapat menggelar
dan menciptakan seketika dari kuasanya tanpa mengalami kesulitan, maka
diibaratkan Dzat Allah itu karena besarnya hingga meliputi yang menyaksikannya.
L. Pria dan Wanita Yang Sejati.
Yang bernama roh idlafi itu adalah roh Wanita tetapi berada pada Pria.
Wanita itu Rohnya adalah Roh Kudus yang sebenarnya adalah roh pria yang
berada dalam wanita, yang disucikan dalam jinem, bertempat dalam junup, maka
dapat membangkitkan keinginan sendiri-sendiri,
Karena rohnya wanita dipakai pria, sebaliknya rohnya pria dipakai
wanita, karena rasa kangen akan menarik rohnya masing-masing, tetapi akhirnya
timbullah persenggamaan yang dinamakan lambangsari yang akibatnya dapat
mewujudkan suatu wujud. Maka dinamakan sanggama artinya hanya satu yang benar,
atau saresmi artinya bercampurnya ari menjadi satu hingga masing-masing
mendapatkan kepuasan. Karena dikabulkan oleh Tuhan akan menjadi Bapak/Ibu, maka
bagi mereka yang dapat menandai terjadinya suatu sebelum sanggama, dapat pula
mengetahui macam apakah anak yang akan terlahir nanti.
Misal, dalam 35 hari sepasang suami istri tadi yang mempunyai keinginan
seks terlebih dahulu siapa, ada rasa kangen terlebih dahulu, bila menjelma biji
maka akan terlahir laki- laki apabila sang suami yang terlebih dahulu. Tetapi
keadaan ini harus berimbang dalam batin sama merasakan puas karena kalau tidak
menyatu dalam rasa dan fikiran maka akan lain jadinya, adapun cacad, wujud
lainnya.
Cacad karena ketidakseimbangan kemauan suami istri dalam senggama
adalah sebagai berikut :
1) Bila merasa kecewa dalam hati, tidak senang dalam bersenggama,
dikemudian hari akan timbul watak pada si anak;
sering kecewa, bahkan dapat pula mendatangkan selalu susah seumur
hidupnya.
2) Bila punya perasaan tidak senang atau marah tetapi hanya di batin
saja, akan terlahir anak yang pemarah, senang berkelahi, bahkan dalam hidupnya
akan mengalami kerugian.
3) Bila dalam bersenggama ada salah satu yang kurang jujur maka begitu
lahir apabila suami yang tidak jujur maka anak perempuan senang berbohong atau
tidak jujur dan sebaliknya.
Adapun suami istri harus saling mengisi, menghormati, membutuhkan,
istri tidak boleh memperlihatkan nafsunya dan suami memperhatikan gelagat
istrinya, sekiranya sehari itu tidak terjadi apa-apa tidak pula ada perasaan
susah dari keduanya, suatu tanda bahwa pada saat itulah Tuhan akan menurunkan
Wiji Wijanging Sasami, artinya adalah manusia pilihan, Trimurti.
M. Mengenai Keadaan Kematian.
Keadaan kematian bagi mereka yang sering berbuat dosa atau kesalahan
dengan yang diterima atau tanpa dosa dalam kematian. Membagi-bagi keadaannya
dalam alam kematian;
Setiap orang pasti akan berbeda dalam menghadapi kematian, karena salah
dalam fikirnya ketika mengalami sakaratul maut, hidup ini berbeda-beda ciptanya
ada yang membantah dan menantang adanya kematian dengan mengandalkan ilmunya,
adapula yang malah menyingkirkan ilmunya hanya menyerah kepada Tuhan. Orang
yang bodoh dapat diterima juga ada karena hanya mengandalkan pada sifat lugu
dan jujur saja, ada juga bodoh yang terjerumus, bahkan banyak juga orang bodoh
malah memberi contoh karena enggang disebiut bodoh, Maka dalam kematian ada sebutannya;
1. Dinamakan Kasunyataning pati, hanyalah menetapi sebutan saja, hidup
pasti mengalami mati, artinya hanyalah nama tempatnya ‘ajal ulihan’ atau mati
kembali.
2. Dinamakan Padhanging pati, artinya mengetahui tanda-tandanya dari
Dzat Tuhan, maka dapat sampai pada kenyataannya, jadi dapat mengatur
keadaannya.
3. Pepetenging pati, artinya hilang tanpa mengetahui berakhirnya hidup
berarti tidak mengetahui keadaannya sendiri.
4. Pagaweaning pati, artinya hanya mati biasa, jadi tidak mengetahui
dalam keadaan gerak dan keadaannya Kawula Gusti.
5. Rowanging pati, artinya kematian yang hanya menerima Kasih
sayangNya, jadi hanya menerima nikmatnya Dzatullah saja.
6. Rasaning pati, adalah mereka yang sudah percaya dengan keterangan
dari sang guru, tempatnya sudahlah pasti.
7. Purbaning pati, yang sudah diaku sebagai rahsanya Dzat, berada dalam
hidayatullahu, tetap langgeng tidak ada perubahan di kemudian.
8. Pastining pati, artinya bagi mereka yang sudah memenuhi suratan
dalam lokhil makful, jadi sudah sesuai garis patinya.
9. Jalaraning pati, artinya yang lugu karena kehendak Tuhan, jadi dapat
menyatu dengan Dzatullah dialam akhirat.
10. Anganggo sihing pati, artinya yang dirasakannya hanyalah pada
musnahnya badan, hanya Dzatullah yang mengadakankarena tidak berdosa.
11. Marganing pati, artinya yang sudah mengetahui jalannya, maka dapat
langsung masuk ke dalam hidayatullah yang akan menemui kelanggengan di akhirat.
12. Pilungguhing pati, artinya menjalani petunjuk Allah, akan mencapai
keselamatan di akhirat dan mencapai kesempurnaan.
13. Pinangihing pati, artinya bertawakal, berpasarah diri kepada Tuhan,
dapat dekat dan masuk ke dalam hidayatullah karena yang begini tidak berharap,
hanya mengutamakan jalannya takdir.
14. Enggoning pati, artinya menunjukkan perbuatan Dzat yang sempurna,
sempurnanya sifat langgeng, hanya terdapat pada kebenaran ilmu, ini sempurna
menjadi pesertanya nafi Jinis.
15. Sesandhaning pati, artinya adalah yang sudah melaksanakansemua
petunjuk guru, menjalanka laku jujur dalam hidup, dan dalam kematian sudah
tidak punya rasa takut, bahkan sudah dapat membedakan buruk dan baik, juga
mengetahui awal dan akhir Sebanyak ini keadaan kematian diakibatkan terjadinya
karena adanya dosa, dari cara kita memusatkan fikiran walaupun sudah diberi
petunjuk, namun pada saatnya akan banyak gangguannya, yang sebenarnya hanyalah
terletak pada Dzat saja.
Padahal yang dinamakan ilmu itu adalah pengetahuan, yang maksudnya
ketahuilah dalam kehidupan hingga kematian. Awal penyebab kematian, karena
kurang teliti dalam suatu perbuatan dan meneliti suatu kejadian. Datangnya
susah disebabkan adanya kegembiraan, asalnya lupa karena tidak mengetahui
tujuan hidupnya, padahal manusia sebenarnya dapat langgeng tanpa mengalami
perubahan, hanya selamat tanpa menderita, hidup terus tanpa mati, dengan suatu
bukti bahwa manusia itu dengan umat lainnya berbeda sendiri, maka dinamakan
manusia, itu artinya insan (unusan) atau pilihan.
Saksinya kalau khalifah yang diakui sebagai Rahsanya Dzat Allah artinya
hanya satu belaka. Tuhan itu dalam sifat hidupNya adalah manusia, suatu bukti
kalau Manunggaling Kawula Gusti, yang dapat menguasai memerintah dan menghukum
di dalam alam raya seluruhnya. Oleh karenanya menjadi suatu kenyataan bahwa
Tuhan tidak dapat melihat, tetapi tidak buta, tetapi melihat dari mata kita,
Tuhan tidak mendengar tetapi tidak tuli, karena mendengar lewat telinga kita.
Tuhan tidak dapat berbuat apa-apa, tetapi tidak bodoh, segala yang diperbuatnya
menggunakan af’al kita. Maka dapat menciptakan seluruh dunia seisinya dalam
waktu seketika.
N. Manusia terdiri dari 4 anasir.
Dalam kitab Ma’lumatu’lhuhiyah dan kitab Hidayatul Khakaik menjelaskan
bahwa manusia berasal dari 4 unsur :
1. Berasal dari sarinya Tanah, tetapi bukan tanah yang kita pijak ini.
2. Berasal ari Api, tetapi bukan api yang dipergunakan untuk membakar.
3. Berasal dari Angin, tetapi bukan angin yang mendesau itu.
4. Berasal dari Air, tetapi bukan air yang meluap mengalir.
Semua ini merupakan lambang saja, maka setelah mempunyai perwujudan,
lalu mempunyai tujuh perkara :
1. Hayyu, artinya hidup.
2. Masuklah Nur, artinya Cahaya.
3. Kemasukan sir artinya Cipta.
4. Kemasukan pula roh, artinya Nyawa.
5. Kemasukan nafsu, artinya Angkara Murka
6. Kemasukan akal, artinya Budhi.
7. Kemasukan kehendak, artinya Angen-angen.
Itulah wujud yang Dzat Yang Maha Agung, sebenarnya nafi yang baik, maka
diibaratkan bahwa nafi walaupun dekat tetapi tidak bersinggungan, jauh tak
terduga jauhnya, dan nafi itu pasti ada tidak mungkin tidak ada. Adanya hanya
karena terlihat saja. Jadi kumpulnya Kawula Gusti merupakan dua jadi satu dan
satu satu belaka.
O. Berbagai macam Wahyu.
Pancaran tiga warna pertanda wahyu, biasanya pada pukul 3 dini hari :
1. Wahyu Nurbuwah, artinya wahyunya Kraton Bintoro, dapat menjadi Raja
Paranpara (utama) yang mempunyai jiwa terbuka dan wujudnya wahyu, cahaya
kemilau bagaikan permata indah.
2. Wahyu Kukumah, warnanya bagaikan berlian yang telah digosok, sebuah
pertanda telah terbukanya tirai Tuhan dan diperbolehkan menjadi Ratu Adil yang
menguasai jawa dan dibenarkan untuk menguasai ilmu untuk kearah kebaikan.
3. Wahyu Wilayah, warnanya bagaikan jamrud, bercampur berlian biru yang
sangat indah warnanya, sebagai tanda kalau sudah diteima sebagai Waiullah.
Nuwun,
Rahayu!
Posting Komentar