Petikan Serat
Darmogandul
tulisan oleh:
Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2005
Suatu hari, Darmo Gandhul bertanya kepada Ki Kalamwadi demikian, “Awal
mulanya bagaimana sehingga orang Jawa meninggalkan agama Buddha dan masuk agama
Islam?”
Ki Kalamwadi lantas bercerita, “Hal ini perlu diketahui, supaya orang
yang tidak tahu bisa mengerti.” Pada jaman dahulu negara Majapahit itu namanya
negara Majalengka. Adapun nama Majapahit itu, hanya untuk pasemon, tetapi yang
belum tahu riwayatnya menganggap bahwa nama Majapahit itu memang sudah namanya
sejak semula. Raja Majalengka yang terakhir bernama Prabu Brawijaya.Waktu itu
sang Prabu sedang susah hati. Sang Prabu kawin dengan Putri Campa, padahal
Putri Campa tadi beragama Islam. Kalau sedang berkasih-kasihan, ia selalu
bercerita kepada sang raja tentang keluhuran agama Islam. Setiap bertemu selalu
memuji agama Islam sehingga menyebabkan Sang Prabu terpikat dengan agama Islam.
Sang Prabu Brawijaya memiliki seorang putra dari istrinya Putri Cina,
anak tersebut lahir di Palembang dan
diberi nama Raden Patah. Menurut aturan leluhur dari ayahandanya yang beragama
Jawa Buddha, putra raja yang lahir si gunung, namanya adalah Bambang. Jika
menurut alur ibu, sesebutannya adalah Kaotiang. Adapun jika orang Arab
sebutannya adalah Sayid atau Sarib. Lalu sang Prabu meminta pertimbangan sang
Patih, menurut sang Patih maka putra sang Prabu tersebut dinamai Bambang, akan
tetapi karena ibunya Cina, lebih baik disebut Babah artinya lahir di negara
lain, negeri Majalengka.
Pada suatu hari Prabu Brawijaya sedang dihadap Patih serta para madya
bala. Patih memberi laporan bahwa baru saja menerima surat dari Tumenggung
Kertasana. Isi surat memberi tahu bahwa negeri Kertasan sungainya kering.
Sungai yang dari Kediri alirannya menyimpang ke timur. Sebagian surat tadi
bunyinya begini, “Disebelah barat laut Kediri, beberapa dusun-dusun rusak.
Semua itu terkena sabda ulama dari Arab, namanya Sunan Bonang. Mendengar kata
Patih tersebut, Sang Prabu sangat marah. Patih kemudian diutus ke Kertasana,
memeriksa keadaan senuanya, penduduk dan hasil bumi yang diterjang air bah?
Serta diperintahkan memanggil Sunan Bonang. Sang Prabu kemudian memerintahkan
kepada Patih, orang Arab yang di tanah Jawa diusir pergi, karena membuat
kerepotan negara, hanya di Demak dan Ampelgading yang boleh melestarikan
agamanya. Selain dua tempat diperintahkan kembali ke negerinya. Jika tidak mau
pergi diperintahkan untuk dibunuh, jawab Patih, “Gusti ! benar perintah Paduka
itu, karena ulama Giripura sudah tiga tahun juga tidak menghadap dan tidak
mengirim upetti. Mungkin maksudnya hendak menjadi raja sendiri, tidak merasa
makan minum di tanah Jawa. Berarti santri Giri hendak melebihi wibawa Paduka.
Namanya Sunan Ainul Yakin, itu nama dalam bahasa Arab, artinya Sunan itu budi,
Ainal itu makrifat, Yakin itu tahu sendiri. Jadi maknanya tahu dengan pasti.
Dalam bahasa Jawa sama dengan kata Prabu Satmata. Itu nama luhur yang hanya
dimiliki Yang Maha Kuasa, maha melihat. Di dunia tidak ada duanya nama Prabu
Satmata, kecuali hanya Batara Wisnu ketika bertahta di negeri Medang Kasapta.”
Mendengar kata Patih, kemudian Sang Prabu memerintahkan untuk memerangi
Giri. Orang di Giri geger, tidak kuat menanggulangi amukan prajurit Majapahit.
Sunan Giri lari ke Bonang, mencari bantuan kekuatan. Setelah mendapat bantuan ,
kemudian perang lagi musuh orang Majalengka. Perang ramai sekali, waktu itu
tanah Jawa sudah hampir separo yang masuk agama Islam, orang-orang pesisir
utara sudah beragama Islam. Adapun yang di selatan masih tetap memakai agama
Buddha. Sunan Bonang sudah mengakui kesalahanya, tidak menghadap ke Majalengka.
Maka kemudian pergi dengan Sunan Giri ke Demak. Sesampainya di Demak, kemudian
memanggil Adipati Demak, diajak menyerang Majalengka. Kata Sunan Bonang kepada
Adipati Demak, “Ketahuilah, sekarang sudah saatnya Kraton Majalengka hancur,
umurnya sudah seratus tiga tahun”. Dari
penglihatan gaibku yang kuat menjadi raja tanah Jawa, menggantikan tahta raja
hanya kamu. Karena itu hancurkan Kraton Majalengka, tetapi dengan cara halus,
jangan sampai kelihatan.
Menghadaplah besok Garebeg Maulud, tetapi siapkan senjata perang, nanti
kalau semua sudah berkumpul, para sunan dan para bupati dan prajuritnya yang
sudah Islam, pasti menurut kepada kamu. Adipati Demak berkata, “Saya takut
menyerang negeri Majalengka, karena memusuhi ayah dan rajaku. Apa balasan saya
kecuali kesetiaan. Sunan Bonang berkata lagi, “Meskipun musuh ayah dan raja,
tidak ada jeleknya, karena itu orang kafir. Kalau membunuh orang kafir Buda
kawak, kamu akan mendapatkan ganjaran surga. Sunan Bonang yang sudah dipuji
orang sealam semesta, keturunan rasul pemimpin orang Islam semua. Kamu musuh
ayah raja, meskipun dosa sekali, hanya dengan satu orang, lagi pula raja kafir.
Tetapi bila ayahmu kalah, orang setanah Jawa Islam semua. Yang demikian itu,
seberapa pahalamu nanti di hadapan Allah, lipat berkali-kali. Sebenarnya ayahmu
itu sia-sia kepada kamu. Buktinya kamu diberi nama Babah, tahu artinya Babah?
Babah itu artinya jorok sekali yaitu saja mati saja hidup, benih Jawa dibawa
putri Cina, maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang, manusia
keturunan raksasa. Itu memutuskan tali kasih namanya. Ayahandamu pikirnya tetap
tidak baik, maka kuanjurkan balaslah dengan halus, artinya jangan sampai ketahuan. Dalam bathin Sunan Bonang berkata, “Sesaplah
darahnya, remuklah tulangnya.”
Singkat cerita, tidak lama kemudian para Sunan dan para Bupati sudah
berdatangan semua. Kemudian mereka bermusyawarah untuk memperbesar masjid.
Setelah jadi, kemudian mereka melakukan shalat berjamaah di Masjid. Setelah
selesai shalat kemudian mereka menutup pintu. Semua orang diberitahu oleh Sunan
Bonang, bahwa adipati Demak akan menjadi raja Jawa. Untuk itu Majapahit harus
ditaklukkan. Mereka semua terbujuk oleh Sunan Bonang yang sangat piawai
berbicara itu. Para sunan dan para Bupati sudah mufakat semua, hanya satu yang
tidak sepakat, yaitu Syekh Siti Jenar, Sunan Bonang marah, maka Syekh Siti
Jenar dibunuh. Adapun yang diperintahkan membunuh adalah Sunan Giri. Syekh Siti
Jenar dipenggal kepalanya hingga tewas. Sebelum Syekh Siti Jenar tewas, ia
meninggalkan suara, “Ingat-ingat ulama Giri, kamu tidak kubalas di akhirat,
tetapi kubalas di dunia saja. Kelak apabila ada raja Jawa bersama orang tua,
saat itulah lehermu akan kupenggal.”
Sang Prabu Brawijaya mendengar laporan Patih sangat terkejut, berdiri
mematung seperti tugu. Mengapa putranya dan para ulama datang hendak merusak
negara. Sang patih juga tidak habis mengerti, karena tidak masuk akal orang
diberi kebaikan kok membalas kejahatan. Semestinya mereka membalas kebaikan
juga, Ki patih tak habis berpikir.Singkat cerita, setelah pasukan Majapahit
dipukul mundur oleh pasukan yang dipimpin adipati Demak Raden Patah yang juga
Putra Prabu Brawijaya, para ulama dan para bupati, kemudian perjalanan Prabu
Brawijaya sampai di Blambangan, karena merasa lelah kemudian berhenti dipinggir
mata air. Waktu itu pikiran Sang Prabu benar-benar gelap. Yang dihadapannya
hanya dua abdi dalem, yaitu Noyo Genggong dan Sabdo Palon. Kedua abdi tadi
tidak pernah bercanda, dan memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi. Sabdo
Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon kayu pengancing kandang. Naya artinya
pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicara hamba itu, bisa
untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya.
Tidak lama kemudian Sunan Kalijaga berhasil ketemu dengan sang Prabu
diperjalanan, lalu Sunan Kalijaga bersujud menyembah di kaki Sang Prabu. Sang
Prabu kemudian bertanya kepada Sunan Kalijaga, “Sahid! Kamu datang ada apa ?
Apa perlunya mengikuti aku ?” Sunan Kalijaga berkata, “Hamba diutus paduka
untuk mencari dan menghaturkan sembah sujud kepada paduka di manapun bertemu.
Beliau memohon ampun atas kekhilafannya sampai lancang berani merebut tahta
paduka, karena terlena oleh darah mudanya yang tidak tahu tata krama ingin
menduduki tahta memerintahkan negeri, disembah para bupati. Sang Prabu
Brawijaya bersabda, “Aku sudah dengar kata-katamu, Sahid! Tetapi tidak aku
gagas! Aku sudah muak bicara dengan santri! Mereka bicara dengan mata tujuh,
lamis semua, maka blero matanya! Menunduk di muka tetapi memukul di belakang.
Kata-katanya hanya manis di bibir, batinnya meraup pasir ditaburkan ke mata,
agar buta mataku ini.”
Setelah mendengar sabda Prabu demikian, Sunan Kalijaga merasa bersalah
karena ikut menyerang Majapahit. Ia menarik nafas dalam dan sangat menyesal.
Sang Prabu Brawijaya berkata, “Sekarang aku akan ke pulau Bali, bertemu dengan
yayi Prabu Dewa Agung di Klungkung. Aku akan beri tahu tingkah Si Raden Patah,
menyia-nyiakan orang tua tanpa dosa, dan hendak kuminta menggalang para raja
sekitar Jawa untuk mengambil kembali tahta Majapahit. Sunan Kalijaga sangat
prihatin, ia berkata dalam hati, “Tidak salah dengan dugaan Nyai Ageng
Ampelgading, bahwa Eyang Bungkuk masih gagah mengangkangi negara, tidak tahu
diri, kulit kisut punggung wungkuk. Jika beliau dibiarkan sampai menyeberang ke
Pulau Bali, pasti akan ada perang besar dan pasukan Demak pasti kalah karena
dalam posisi salah, memusuhi raja dan bapa, ketiga pemberi anugrah. Sudah pasti
orang Jawa yang belum Islam akan membela raja tua, bersiaga mengangkat senjata.
Pasti akan kalah orang islam tertumpas dalam peperangan. Mendengar kemarahan
sang Prabu yang tak tertahankan, Sunan Kalijaga merasa tidak bisa meredakan
lagi, maka kemudian beliau menyembah kaki sang Prabu sambil menyerahkan senjata
kerisnya dengan berkata, apabila sang Prabu tidak bersedia mengikuti sarannya,
maka ia mohon agar dibunuh saja, karena akan malu mengetahui peristiwa
menjijikan ini. Sang Prabu mengeluh kepada Sunan Kalijaga, “Coba pikirkan
Sahid! Alangkah sedih hatiku, orang sudah tua renta, lemah tak berdaya kok akan
direndam dalam air”.
Sunan Kalijaga memendam senyum dan berkata, “Mustahil jika demikian,
besok hamba yang tanggung, hamba yakin tidak akan tega putra paduka
memperlakukan sia-sia kepada paduka. Akan halnya masalah agama hanya terserah
sekehendak paduka, namun lebih baik jika paduka berkenan berganti syariat
Rasul, dan mengucapkan asma Allah. Akan tetapi jika paduka tidak berkenan itu
tidak masalah, toh hanya soal agama. Pedoman orang Islam itu syahadat, meskipun
salat dingklak-dingkluk jika belum paham syahadat itu juga tetap kafir namanya.
Akhirnya, setelah Sunan Kalijaga berkata banyak-banyak sampai Prabu
Brawijaya berkenan pindah agama Islam, setelah itu minta potong rambut kepada
Sunan Kalijaga, akan tetapi rambutnya tidak mempan dipotong, Sunan Kalijaga
lantas berkata, Sang Prabu dimohon Islam Lahir bathin, karena apabila hanya
lahir saja, rambutnya tidak mempan digunting. Sang Prabu kemudian berkata kalau
sudah lahir bathin, maka rambutnya bisa dipotong. Sang Prabu setelah potong
rambut kemudian berkata kepada Sabdo Palon dan Noyo Genggong, “Kamu berdua
kuberi tahu mulai hari ini aku meninggalkan agama Buddha dan memeluk agama Islam.
Aku sudah menyebut nama Allah yang sejati. Kalau kalian mau, kalian berdua
kuajak pindah agama Rasul dan meninggalkan agama Buddha.
Lalu Sado Palon berkata sedih, “Hamba ini Ratu Dang Hyang yang menjaga
tanah Jawa, siapa yang bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur
paduka dahulu, sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, terun-temurun
sampai sekarang. Hamba mengasuh penurun raja-raja Jawa. Hamba jika tidur sampai
200 tahun. Selama hamba tidur selalu ada peperangan saudara musuh saudara, yang
nakal membunuh manusia bangsanya sendiri. Sampai sekarang ini umur hamba sudah
2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah
agamanya, sejak pertama menepati agama Buddha. Baru paduka yang berani
meninggalkan pedoman luhur Jawa. Kalau hanya ikut-ikutan akan membuat celaka
muksa paduka kelak, kata Wikuutama disambut halilintar bersahutan. Prabu
Brawijaya disindir oleh Dewata karena mau masuk agama Islam, yaitu dengan
perwujudan keadaan di dunia ditambah tiga hal : (1) rumput Jawan, (2) padi
Randanunut, dan (3) padi Mriyi.
Sang Prabu bertanya, “Bagaimana niatmu, mau apa tidak meninggalkan
agama Buddha masuk agama Rasul, lalu menyebut Nabi Muhammad Rasulallah dan nama
Allah yang sejati!”
Sabdo Palon berkata sedih, “Paduka masuklah sendiri, hamba tidak tega
melihat watak sia-sia, seperti manusia Arab itu, menginjak-nginjak hukum,
menginjak-nginjak tatanan. Jika hamba pindah agama, pasti akan celaka muksa
hamba kelak. Yang mengatakan mulia itu kan orang Arab dan orang Islam semua,
memuji diri sendiri. Kalau hamba mengatakan kurang ajar, memuji kebaikan
tetangga mencelakai diri sendiri. Hamba suka agama lama menyebutkan Dewa Yang
Maha Lebih. Sang Prabu berkata lagi, “Aku akan kembali kepada yang suwung,
kekosongan ketika aku belum maujud apa-apa, demikianlah tujuan kematianku
kelak. Itu matinya manusia tak berguna, tidak punya iman dan ilmu, ketika hidup
seperti hewan, hanya makan minum dan tidur. Demikian itu hanya bisa gemuk kaya
daging. Penting minum dan kencing saja, hilang makna hidup dalam mati”.
Sang prabu berkata,”Aku akan muksa dengan ragaku”. Sabdo Palon
tersenyum, “Kalau orang Islam terang tidak bisa muksa, tidak mampu meringkas
makan badannya, gemuk kebanyakkan daging. Manusia mati muksa itu celaka, karena
mati tetapi tidak meninggalkan jasad.
Sang Prabu, “Keinginanku kembali ke akhirat, masuk surga menghadap Yang
Maha Kuasa”.
Sabdo Palon berkata, “Akhirat, surga, sudah paduka bawa kemana-mana,
dunia manusia itu sudah menguasai alam kecil dalam besar. Paduka akan pergi ke
akhirat mana, nanti tersesat lho! Bila mau hamba ingatkan jangan sampai paduka
mendapatkan kemelaratan seperti pengadilan negara. Jika salah menjawab tentu
dihukum, ditangkap, dipaksa kerja berat dan tanpa menerima upah. Masuk akhirat
Nusa Srenggi. Nusa artinya Manusia, Sreng artinya berat sekali, Enggi artinya
kerja. Jadi maknanya manusia dipaksa bekerja untuk Ratu Nusa Srenggi, Apa tidak
celaka! Paduka jangan sampai pulang akhirat, jangan sampai masuk surga, malah
tersesat, banyak binatang mengganggu, semua tidur berselimut tanah, hidupnya
bekerja dengan paksaan, paduka jangan sampai menghadap Gusti Allah, karena
Gusti Allah itu tidak berwujud tidak berbentuk. Wujudnya hanya asma, meliputi
dunia dan akhirat, paduka belum kenal, kenalnya hanya seperti kenalnya cahaya
bintang dan rembulan. Saya tidak tahan dekat apalagi paduka, Kandjeng Nabi musa
toh tidak tahan melihat Gusti Allah, maka Allah tidak kelihatan hanya Dzatnya
yang meliputi semua mahluk. Paduka bibit ruhani bukan malaikat, manusia raganya
berasal dari nutfah menghadap Hyang Lata wal Hujwa, jika sudah lama minta yang
baru tidak bolak-balik, itulah hidup-mati.”
Sang Prabu bertanya, “Dimana Tuhan yang Sejati?”. Sabdo Palon berkata, “Tidak
jauh tidak dekat, Paduka bayangannya, paduka wujud sifat suksma, sejatinya
tunggal budi, hawa, dan badan. Tiga-tiganya itu satu, tidak terpisahkan, tetapi
juga tidak berkumpul. Paduka itu raja mulia tentu tidak akan khilaf kepada
kata-kata hamba ini”.
“Apa kamu tidak mau masuk agama Islam?” Sabdo Palon berkata sedih, “Ikut
agama lama, kepada agama baru tidak !! Kenapa Paduka berganti agama tidak
bertanya hamba? Apakah Paduka lupa nama hamba Sabdo Palon!”
“Bagimana ini, aku sudah terlanjur masuk agama Islam, sudah disaksikan
Sahid, aku tidak boleh kembali kepada agama Buddha lagi, aku malu apabila
ditertawakan bumi dan langit.”
“Iya sudah, silakan Paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan,
kata Sabdo Palon kepada Prabu Brawijaya.Sang Prabu mendengar kata-kata Sabdo
Palon dalam batin merasa sangat menyesal karena telah memeluk agama Islam dan
meninggalkan agama Buddha. Lama beliau tidak berkata, kemudian ia menjelaskan
bahwa masuknya agama Islam itu karena terpikat kata Putri Campa, yang
mengatakan bahwa agama Islam itu kelak apabila mati, masuk surga yang melebihi
surganya orang kafir. Saddo Palon berkata sambil meludah, ” Sejak jaman
kuno,bila laki-laki menurut perempuan, pasti sengsara, karena perempuan itu
utamanya wadah, tidak berwewenang memulai kehendak”. Sabdo Palon banyak-banyak
mencaci kepada Sang Prabu. Sabdo Palon berkata bahwa dirinya akan memisahkan
diri dengan beliau. Ketika ditanya perginya akan kemana? Ia menjawab tidak
pergi, tetapi tidak berada disitu, hanya menepati yang namanya Semar, artinya
meliputi sekalian wujud, anglela kalingan padang.
Sang Prabu bersumpah, besok apabila ada orang Jawa tua berpengetahuan,
yaitulah yang akan diasuh Sabdo Palon. Orang Jawa akan diajari tahu benar
salah. Sang Prabu hendak merangkul Sabdo Palon dan Noyo Genggong, tetapi dua
orang tadi kemudian musnah.Sang Prabu menyesal dan meneteskan air matanya,
kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga, “Besok negara Blambangan gantilah
dengan nama negara Banyuwangi agar menjadi pertanda kembalinya Sabdo Palon ke
Tanah Jawa membawa asuhannya. Adapun kini Sabdo Palon masih dalam alam gaib.
Sejak jaman kuno belum pernah ada kerajaan besar seperti Majapahit hancur
dengan disengat tawon serta digerogotin tikus saja, dan bubarkan orang
sekerejaan hanya dengan karena disantet demit. Hancurnya Majapahit suaranya
menggelegar, terdengar sampai ke negara mana-mana. Kehancurannya tersebut
karena diserang oleh anaknya sendiri dibantu yaitu wali delapan atau sunan
delapan yang disujudi orang Jawa. Sembilannya Adipati Demak, mereka semua
memberontak dengan licik.
Ramalan Sabdo Palon & Noyo Genggong
1.Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang
negara Mojopahit. Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan
Sunan Kalijaga didampingi oleh Punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya
Genggong.
2.Prabu Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya: “Sabda
Palon sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut
Islam sekali, sebuah agama suci dan baik.”
3.Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu,
sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang
membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus
berpisah.
4.Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang
Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama
Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa.
5.Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan
jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur
leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak
Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.
6.Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah
pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi).
Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widhi bahwa
segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.
7.Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon
Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di
tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia
sehingga banyak yang meninggal dunia.
8.Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah
kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya.
Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.
9.Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang
bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya.
Saudagar selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang
tanipun demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan.
10.Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang menyerang. Kayupun
banyak yang hilang dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan.
Benar-benar rusak moral manusia. Bila hujan gerimis banyak maling tapi siang
hari banyak begal.
11.Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan.
Mereka tidak mengingat aturan negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya
perut. Hal tersebut berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar
biasa. Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit sorenya
telah meninggal dunia.
12.Bahaya penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati. Hujan
tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh
semuanya. Sungai meluap banjir sehingga bila dilihat persis lautan pasang.
13.Seperti lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri.
Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke
laut. Batu-batu besarpun terhanyut dengan gemuruh suaranya.
14.Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan
serta ke kiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal
sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang
tertinggal sedikitpun.
15.Gempa bumi tujuh kali sehari, sehingga membuat susahnya manusia.
Tanahpun menganga. Muncullah brekasakan yang menyeret manusia ke dalam tanah. Manusia-manusia
mengaduh di sana-sini, banyak yang sakit. Penyakitpun rupa-rupa. Banyak yang
tidak dapat sembuh. Kebanyakan mereka meninggal dunia.
16.Demikianlah kata-kata Sabda Palon yang segera menghilang sebentar
tidak tampak lagi diriya. Kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak.
Sama sekali tidak dapat berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah.
Namun bagaimana lagi, segala itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin
diubahnya lagi.
Posting Komentar