Martabat Tujuh, Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati
tulisan oleh:
Kandjeng Pangeran Karyanagoro, 2005
Martabat 7, Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati
Dalam mencari ridhoNya, para sufi menggunakan jalan yang
bermacam-macam. Baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan melalui
kearifan, kecintaan dan tapa brata.
Sejarah mencatat, pada akhir abad ke-8, muncul aliran Wahdatul Wujud,
suatu faham tentang segala wujud yang pada dasarnya bersumber satu. Allah Ta’ala.
Allah yang menjadikan sesuatu dan Dialah a’in dari segala sesuatu. Wujud alam
adalah a’in wujud Allah, Allah adalah hakikat alam. Pada hakikatnya, tidak ada
perbedaan antara wujud qadim dengan wujud baru yang disebut dengan makhluk.
Dengan kata lain, perbedaan yang kita lihat hanya pada rupa atau ragam dari
hakikat yang Esa. Sebab alam beserta manusia merupakan aspek lahir dari suatu
hakikat batin yang tunggal. Tuhan Seru Sekalian Alam.
Faham wahdatul wujud mencapai puncaknya pada akhir abad ke-12. Muhyidin
Ibn Arabi, seorang sufi kelahiran Murcia, kota kecil di Spanyol pada 17
Ramadhan 560 H atau 28 Juli 1165 M adalah salah seorang tokoh utamanya pada
zamannya. Dalam bukunya yang berjudul Fusus al-Hikam yang ditulis pada 627 H
atau 1229 M tersurat dengan jelas uraian tentang faham Pantheisme (seluruh
kosmos adalah Tuhan), terjadinya alam semesta, dan ke-insan-kamil-an. Di mana
faham ini muncul dan berkembang berdasarkan perenungan fakir filsafat dan zaud
(perasaan) tasauf.
Faham ini kemudian berkembang ke luar jazirah Arab, terutama berkembang
ke Tanah India yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Fadillah, salah seorang tokoh
sufi kelahitan Gujarat (…-1629M). Di dalam karangannya, kitab Tuhfah, beliau
mengajukan konsep Martabat Tujuh sebagai sarana penelaahan tentang hubungan manusia
dengan Tuhannya. Menurut Muhammad Ibn Fadillah, Allah yang bersifat gaib bisa
dikenal sesudah bertajjali melalui tujuh martabat atau sebanyak tujuh
tingkatan, sehingga tercipta alam semesta dengan segala isinya. Pengertian
tajjali berarti kebenaran yang diperlihatkan Allah melalui penyinaran atau
penurunan — di mana konsep ini lahir dari suatu ajaran dalam filsafat yang
disebut monisme. Yaitu suatu faham yang memandang bahwa alam semesta beserta
manusia adalah aspek lahir dari satu hakikat tunggal. Allah Ta’ala.
Dr. Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu
Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati menyatakan; “Konsep ajaran martabat
tujuh mengenai penciptaan alam manusia melalui tajjalinya Tuhan sebanyak tujuh
tingkatan jelas tidak bersumber dari Al Qur’an. Sebab dalam Islam tak dikenal
konsep bertajjali. Islam mengajarkan tentang proses Tuhan dalam penciptaan
makhluknya dengan Alijad Minal Adam, berasal dari tidak ada menjadi ada.”
Selanjutnya, konsep martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan
Majapahit dan digantikan dengan kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau
Jawa. Sedangkan awal perkembangannya, ajaran martabat tujuh di Jawa berasal
dari konsep martabat tujuh yang berkembang di Tanah Aceh — terutama yang dikembangkan
oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai (…-1630) dan Abdul Rauf (1617-1690).
Lebih lanjut ditambahkan; “Ajaran Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf
kelihatan besar pengaruhnya dalam perkembangan kepustakaan Islam Kejawen.
Pengaruh Abdul Rauf berkembang melalui penyebaran ajaran tarekat Syatariyah
yang disebarkan oleh Abdul Muhyi (murid Abdul Rauf) di tanah Priangan. Ajaran
tarekat Syatariyah segera menyebar ke Cirebon dan Tegal. Dari Tegal muncul
gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa dengan sekar macapat yang ditulis
sekitar tahun 1680.”
Sedangkan Buya Hamka mengemukakan bahwa faham Wahddatul Al-Wujud yang
melahirkan ajaran Martabat Tujuh muncul karena tak dibedakan atau dipisahkan
antara asyik dengan masyuknya. Dan apabila ke-Ilahi-an telah menjelma di badan
dirinya, maka tidaklah kehendak dirinya yang berlaku, melainkan kehendak Allah.
Dr. Simuh pun kembali menambahkan, dalam ajaran martabat tujuh, Tuhan
menampakkan DiriNya setelah bertajjali dalam tujuh di mana ketujuh tingkatan
tersebut dibagi dalam dua wujud. Yakni tiga aspek batin dan empat aspek lahir. “Tiga
aspek batin terdiri dari Martabat Ahadiyah (kesatuan mutlak), Martabat Wahdah
(kesatuan yang mengandung kejamakan secara ijmal keseluruhan), dan Martabat
Wahadiyah (kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batas setiap
sesuatu). Sedangkan aspek lahir terdiri Alam Arwah (alam nyawa dalam wujud
jamak), Alam Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara ijmal), Alam Ajsam (alam
segala tubuh, kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batasnya)
dan Insan Kamil (bentuk kesempurnaan manusia).
Menanggapi hal ini, Buya Hamka mengutip dari karya Ibnu Arabi yang
berjudul Al-Futuhat al-Makkiya fi Marifa Asrar al-Malakiya (589 H atau 1201 M),
bahwa tajjalinya Allah Ta’ala yang pertama adalah dalam alam Uluhiyah. kemudian
dari alam Uluhiyah mengalir alam Jabarut, Malakut, Mitsal, Ajsam, Arwah dan
Insan Kamil — di mana yang dimaksud dengan alam Uluhiyah adalah alam yang
terjadi dengan perintah Allah tanpa perantara.
Martabat Pertama, Ahadiyah
Martabat pertama adalah Martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai
Martabat Lata’ayyun, atau al-Ama (tingkatan yang tidak diketahui). Disebut juga
Al-Tanazzulat li ‘l-Dhat (dari alam kegelapan menuju alam terang), al-Bath
(alam murni), al-Dhat (alam zat), al-Lahut (alam ketuhanan), al-Sirf (alam
keutamaan), al-Dhat al-Mutlaq (zat kemutlakan), al-Bayad al-Mutlaq (kesucian
yang mutlak), Kunh al-Dhat (asal terbuntuknya zat), Makiyyah al-Makiyyah (inti
dari segala zat), Majhul al N’at (zat yang tak dapat disifati), Ghayb al Ghuyub
(gaib dari segala yang gaib), Wujud al-Mahad (wujud yang mutlak).
Dan berikut adalah nukilan dari terjemahan tingkat pertama yang disebut
Martabat Ahadiyah dalam Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati.
Suluk Sujinah
Ada pengetahuan perihal tingkatan dalam kehidupan manusia, yang
diceritakan dengan ajalollah dan dikenal dengan sebutan martabat tujuh, diawali
dengan kegaiban. Zat yang membawa pengetahuan tentang Diri-Nya, dan tanpa
membeberkan tentang kenyataan (fisik), Keadaannya kosong namun dasarnya ada.
Tapi dalam martabat ini belum berkehendak. Martabat Akadiyah disebut juga
dengan Sarikul Adham. Awal dari segala awal. Dalam alam ahadiyah dimulai dengan
aksara La dan bersemayam ila. Itulah kekosongan pertama dari empat bentuk
kekosongan. Kedua bernama Maslub. Ketiga adalah Tahlil, dan keempat Tasbeh.
Maslub bermakna belum adanya bentuk atau wujud roh atau jiwa. Tak berbentuk
badan atau wujud lainnya.Tahlil berarti tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan
Tasbeh bermakna Tuhan Maha Suci dan Tunggal. Tuhan tak mendua atau bertiga. Tak
ada Pangeran lain kecuali Allah yang disembah dan dipuja, yang asih pada
makhluknya.
Serat Wiirid Hidayat Jati
Sajaratul Yakin tumbuh dalam alam adam makdum yang sunyi senyap azali
abadi, artinya pohon kehidupan yang berada dalam ruang hampa yang sunyi senyap
selamanya, belum ada sesuatu pun, adalah hakikat Zat Mutlak yang qadim. Zat
yang pasti terdahulu, yaitu zat atma, yang menjadi wahana alam Ahadiyah.
Di dalam Suluk Sujinah, tingkat pertama disebut dengan alam Ahadiyah,
yaitu alam tentang tingkat keesaan-Nya. Keesaan-Nya agung, dan bukan obyek dari
pengetahuan khusus mana pun dan karena itu tidak dapat dicapai oleh makhluk apa
pun. Hanya Allah yang mengetahui diri-Nya dan keesaan-Nya.
Dalam keesaan-Nya tak ada sesuatu pun yang menguasai dan mengetahui
kecuali diri-Nya. Firmannya adalah diri-Nya sendiri, begitu pun malaikat-Nya
dan nabi-Nya. Allah dalam tingkatan ini berada pada kondisi al-Kamal, yaitu,
dalam kesempurnaan-Nya.
Hakikat-Nya, keesaan-Nya adalah tempat berkumpulnya seluruh keragaman
dan tenggelam atau lenyap dalam kesatuan-Nya. Dalam alam Ahadiyah keragaman dan
kejamakan tersebut tidak dapat dipertentangkan dengan gagasan metafisis tentang
tahapan atau tingkatan eksistensi.
Dalam tingkatan ini, Allah berada dalam kondisi Ghayb al-Ghuyub, yaitu,
keberadaan-Nya yang gaib. Tuhan tak dapat diindrawi. Sebab Allah tidak
membeberkan tentang kenyataan yang fisik. Allah dalam keadaan yang tak berujud,
yang tak dapat dideteksi oleh manusia atau para wali, nabi, bahkan para
malaikat terdekat-Nya. Sebab Ia masih dalam kesendirian-Nya. Allah belum
menguraikan atau menciptakan sesuatu. Di dalam derajat ini, semua sifat umum
kumpul melebur di dalam diri-Nya. Perbedaan sifat pun ada dalam kesatuan-Nya.
Tuhan dalam alam pertama disebut juga al-Unsur Adam, Allah adalah unsur
yang pertama, dan tak ada makhluk-makhluk lainnya yang mendahului. Diri-Nya
adalah unsur yang terdahulu yang bersifat agung. Zat-Nya adalah substansi
universal dan hakikat-Nya yang tak dapat dipahami. Dalam sifat adam-Nya,
hakikat-Nya tak dapat dipahami. Sebab awalnya adalah Ada dalam ketiadaan. Dan
ketiadaan-Nya adalah hakikat yang tak terlukiskan dan tak dapat dimengerti oleh
siapa pun. Hakikatnya di luar segala perumpamaan dan citraan yang memungkinkan.
Selanjutnya, alam Ahadiyah terbagi dalam empat tingkatan. Tahap pertama
dikenal dengan kata La yang bersemayam di dalam kata illa. La dan illa adalah
dua kata yang manunggal, karena setiap realitas-realitas hanya merupakan
refleksi dari realitas-realitas Allah. La dan illa menunjukan pada asal segala
sesuatu yaitu dalam ketiadaan-Nya, diri-Nya Ada. Sedangkan pengertian illa juga
menunjukan pada kembali sesuatu dalam kesatuan-Nya yang bersifat keabadian.
Jika memperhatikan tatanan ontologis, bila diterapkan La dan illa akan
mengisyaratkan pemisahan antara ada Ilahi dan para makhluknya. Dengan demikian,
Ad-Nya pertama menjadi tabu bagi adanya yang kedua. Pengetian La dan illa dalam
masyarakat sufi memiliki tiga makna. Pertama, adalah tiada Tuhan melainkan
Allah. Kedua adalah tiada Ma’bud melainkan Allah dan ketiga tiada maujud
melainkan Allah. Pengertian pertama mengacu pada keberadaan pada kekuasaan-Nya.
Yaitu penegasan tiada Tuhan yang pantas menjadi penguasa selain Allah yang Esa.
Pengertian kedua, Allah adalah Zat yang wajib disembah sebab Allah bersifat
disembah. Tiada penguasa yang wajib disembah selain Allah, Zat yang Maha Suci.
Sedangkan pengertian ketiga, Allah adalah awal segala yang berwujud. Sebab Zat-Nya
adalah wujud yang pertama dan tak berakhir.
Ketiga pengertian tersebut di atas adalah suatu kesatuan yang tak dapat
dikaji secara terpisah. Sebab, segala bentuk yang maujud ini pada hakikatnya
sama sekali tidak ada. Yang ada hanyalah Allah. Jadi, kalau yang ada ini
semuanya dikatakan ada, artinya ada dalam Allah. Inilah konsep dasar dari
Widhatul al-Wujud. Sementara, tingkatan kedua dari alam Ahadiyah adalah Nafi
Uslub, yaitu, tingkat ketiadaan-Nya yang ada. Dalam ketiadaan-Nya, Allah tak
dapat digambarkan atau dilukiskan oleh siapa pun. Allah dalam keadaan Al-Ama,
yaitu, tingkatan yang tak dapat diketahui. Allah dalam tingkatan ini hanya
mempunyai hubungan murni dalam hakikat dan tanpa bentuk. Sedang tingkatan yang
ketiga dalam alam Ahadiyah adalah Tahlil. Pengertian Tahlil berarti kondisi
Tuhan yang bermakna La illa illaha. Tahlil pun bermakna suatu kondisi pemujaan
Allah dengan pengucapan syahadat tentang persaksian akan keberadaan-Nya.
Dalam kalimah Syahadah yang diucapkan dengan niat bulat dan mengakui
bahwa Allah berkuasa sendirian, tidak menghendaki pertolongan dari siapa pun,
ia suci dan kaya. Kalimah Syahadah adalah kalimat yang wajib bagi pemeluk
Islam, di mana intinya adalah pengakuan akan adanya Allah yang menjadi pemimpin
kehidupan, di samping itu, adanya pengakuan rasul Allah. Yaitu Nabi Muhammad
sebagai utusan-Nya.
Selanjutnya, tingkat empat adalah Ahadiyah Tasbih, yang bermakna
kemahaluasan Allah. Tingkatan ini berintikan kalimat Subhhanallah, artinya,
maha suci Allah dan mengingatkan serta menunjukan seluruh keyakinan untuk
selalu mempersucikan-Nya.
Sedang pada Serat Wirid Hidayat Jati, ajaran pertamanya dikenal dengan
sebutan Sajaratul Yakin. Yaitu sebagai lambang pohon kehidupan yang dalam
bahasa Jawa disebut dengan Kajeng Sejati dan memiki makna pengertian tentang
kehidupan atau hayyu.
Hayyu berarti atma, jiwa atau ruh. Dalam Sajaratul Yakin Allah adalah
Wujud al-Sirf, kondisi wujud yang utama. Atma-Nya belum tersifati, namun
ruh-Nya adalah al-Lahut (bersifat ke-ilahi-an). Ia merupakan hakikat zat mutlak
dan qadim, yaitu, asal zat dari segala zat yang bersifat abadi. Zat-Nya tak ada
dalam penguraian. Segala penguraian-Nya adalah bersifat negatif. Sebab Allah
bersifat Makiyyah al Makiyyah, yaitu, inti dari segala zat yang ada di kemudian
hari. Atmanya adalah esa dari yang tak teruraikan dan diuraikan.
Zat ruh-Nya sesungguhnya adalah zat yang bersifat esa. Ruh itulah
sejatinya Tuhan Yang Mahasuci. Ruh-Nya adalah subyek absolut, di mana benda
yang termasuk subyek individu hanyalah obyektivisasi-obyektivisasi ilusi. Sebab
Allah adalah Kunh al-Dhat, asalnya zat terbentuk.
Di dalam kitabnya Daqiqul Akbar, Imam Abdurahman menuliskan, pada awal
permulaan Allah menciptakan sebatang pohon kayu bercabang empat. Pohon kayu
tersebut dikenal dengan Syajaratul Yakin. Dan Syajaratul Yakin tercipta dalam
alam kesunyian yang bersifat qadim dan azali. Pengertian sunyi di sini bukan
bermakna tak adanya sesuatu. Namun bermakna belum terciptanya alam, kecuali
tajjali-Nya yang pertama dalam bentuk Syajaratul Yakin. Sedangkan pengertian
qadim dan azali adalah wujud dari sifat-Nya yang terawal dan tak berakhir.
Zat-Nya adalah terdahulu, tak ada sesuatu pun yang mendahului dan tak ada akhir
karena masa.
Syajaratul yakin afdalah awal sifat-Nya. Dalam pohon kehidupan
sifat-Nya yang menonjol adalah tentang hidup — hidup (al-Hayat) adalah sifat
wajib yang ada pada Diri-Nya. Sebab sifat al-Hayat adalah qadim dan azali.
Al-Hayat dalam segala martabat-Nya menjadi pangkal bagi segala macam kenyataan
yang lahir dan kekal. karena hidup atau hayyu atau atma adalah subyek yang
absolut, maka, hakikat atma atau hidup adalah mutlak yang qadim. Dan Allah
adalah zat pertama dan sumber dari hidup itu sendiri. Diri-Nya adalah kekal
bersamaan dengan kekalnya zat kehidupan.
Keduanya adalah ada dalam kemanunggalan. Zat-Nya yang al-Hayat adalah
sumber munculnya perkara-perkara sifat wajib-Nya. Yaitu, ilmu, iradat, kalam
dan baqa. Artinya, karena adanya ruh atau hayyu (al-Hayat), maka, muncul ilmu
(pengetahuan). Timbulnya pengetahuan (al-ilm) menciptakan atau mengalirnya
kehendak (iradat), dan firman-Nya. Dan ketiga sifat-Nya adalah kekal, baqa.
Posting Komentar