Kandjeng Sunan
Kalijaga
tulisan oleh:
Kandjeng Pangeran
Karyonagoro, 2005
Raden Mas Syahid atau yang kemudian dikenal dengan sebutan
Sunan Kalijaga adalah putera dari Ki Tumenggung Wilatika, bupati Tuban, ada
pula yang mengatakan, bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sabur
Tumenggung Wilatika, dikatakan dalam riwayat, bahwa dalam perkawinannya dengan
Dewi Saroh Binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga juga memperoleh 3 orang putera,
masing-masing: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Diantara para Wali Sembilan, Beliau terkenal sebagai seorang
wali yang berjiwa besar, seorang pemimpin, mubaligh, pujangga dan filosofi.
daerah operasinya tidak terbatas, oleh karena itu beliau adalah terhitung
seorang mubaligh keliling (reizendle mubaligh). Jikalau Beliau bertabligh,
senantiasa diikuti oleh pada kaum ningrat dan sarjana.
Kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau.
karena caranya beliau menyiarkan agama islam yang disesuaikan dengan aliran
jaman, Sunan Kalijaga adalah adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi
dan pergaulannya dan berpandangan jauh serta berperasaan dalam. Semasa
hidupnya, Sunan Kalijaga terhitung seorang wali yang ternama serta disegani
beliau terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif mengarang
cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam dengan lain
perkataan, dalam cerita-cerita wayang itu dimaksudkan sebanyak mungkin
unsur-unsur ke-Islam-an, hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa masyarakat
di Jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hinduisme dan
Buddhisme, atau tegasnya Syiwa Budha, ataupun dengan kata lain, masyarakat
masih memagang teguh tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.
Diantaranya masih suka pada pertunjukan wayang, gemar kepada
gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya, sebab-sebab inilah yang mendorong
Sunan Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh untuk memeras otak, mengatur
siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat istiadat lama dengan
ajaran-ajaran Islam assimilasi kebudayaan, jalan dan cara mana adalah
berdasarkan atas kebijaksanaan para wali sembilan dalam mengambangkan Agama
Islam di sini.
Sunan Kalijaga, namanya hingga kini masih tetap harum serta
dikenang oleh seluruh lapisan masyrakat dari yang atas sampai yang bawah. hal
ini adalah merupakan suatu bukti, bahwa beliau itu benar-benar manusia besar
jiwanya, dan besar pula jasanya. sebagai pujangga, telah banyak mengarang
berbagai cerita yang mengandung filsafat serta berjiwa agama, seni lukis yang
bernafaskan Islam, seni suara yang berjiwakan tauhid. disamping itu pula beliau
berjasa pula bagi perkembangan dari kehidupan wayang kulit yang ada sekarang
ini.
Sunan Kalijaga adalah pengarang dari kitab-kitab
cerita-cerita wayang yang dramatis serta diberi jiwa agama, banyak cerita-cerita
yang dibuatnya yang isinya menggambarkan ethik ke-Islam-an, kesusilaan dalam
hidup sepanjang tuntunan dan ajaran Islam , hanya diselipkan ke dalam cerita
kewayangan. oleh karena Sunan Kalijaga mengetahui, bahwa pada waktu itu keadaan
masyarakat menghendaki yang sedemikian, maka taktik perjuangan beliaupun
disesuaikannya pula dengan keadaan ruang dan waktu.
Berhubung pada waktu itu sedikit para pemeluk agama Syiwa
Budha yang fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan berbahaya sekali kiranya
apabila dalam memperkembangkan agama islam selanjutnya tidak dilakukan dengan
cara yang bijaksana. para wali termasuk didalamnya Sunan Kalijaga mengetahui
bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih lekat sekali kepada kesenian dan
kebudayaan mereka, diantaranya masih gemar kepada gemalan dan
keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan Syiwa-Budha.
Maka setelah diadakan permusyawaratan para wali, dapat
diketemukan suatu cara yang lebih supel, dengan maksud untuk meng-Islam-kan
orang-orang yang belum masuk Islam. Cara itu diketemukan oleh Sunan Kalijaga,
salah seorang yang terkenal berjiwa besar, dan berpandangan jauh,berfikiran
tajam, serta berasal dari suku jawa asli. disamping itu beliau juga ahli seni
dan faham pula akan gamelan serta gending-gending (lagu-lagunya).
Maka dipesanlah oleh Sunan Kalijaga kepada ahli gamelan
untuk membuatkan serancak gamelan, yang kemudian diberinya nama kyai sekati.
hal itu adalah dimaksudkan untuk memperkembangkan Agama Islam.
Menurut adat kebiasaan pada setiap tahun, sesudan konperensi
besar para wali, di serambi Masjid Demak diadakan perayaan Maulid Nabi yang
diramaikan dengan rebana (Bhs. Jawa Terbangan) menurut irama seni Arab. Hal ini
oleh Sunan Kalijaga hendak disempurnakan dengan pengertian disesuaikan dengan
alam fikiran masyarakat jawa. maka gamelan yang telah dipesan itupun
ditempatkan diatas pagengan yaitu sebuah tarub yang tempatnya di depan halaman
Masjid Demak, dengan dihiasai beraneka macam bungan-bungaan yang indah. gapura
mashidpun dihiasinya pula, sehingga banyaklah rakyat yang tertarik untuk
berkunjung ke sana, gamelan itupun kemudian dipukulinya betalu-talu dengan
tiada henti-hentinya.
Kemudian dimuka gapura masjid, tampillah ke depan podium
bergantian para wali memberikan wejangan-wejangan serta nasehat-nasehatnya
uraian-uraiannya diberikan dengan gaya bahasa yang sangat menarik sehingga
orang yang mendengarkan hatinya tertaik untuk masuk ke dalam masjid untuk
mendekati gamelan yang sedang ditabuh, artinya dibunyikan itu. dan mereka
diperbolehkan masuk ke dalam masjid, akan tetapi terlebih dahulu harus
mengambil air wudlu di kolas masjid melalui pintu gapura. upacara yang demikian
ini mengandung simbolik, yang diartikan bahwa bagi barang siapa yang telah
mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk ke dalam masjid melalui gapura
(dari Bahasa Arab Ghapura) maka berarti bahwa segala dosanya sudah diampuni
oleh Tuhan.
Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian, tidak
hanya dalam lapangan seni suara saja, akan tetapi juga meliputi seni drama
(wayang kulit) seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni ukir, seni pahat.
dan juga dalam lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh sunan kalijaga
(periode demak) diberi motif “burung” di dalam beraneka macam. sebagai gambar
ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah sangat indahnya, akan tetapi lebih
indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan dan pengajaran budi pekerti. Di dalam
bahasa kawi, burung itu disebut “kukila” dan kata bahasa kawi ini jika dalam
bahasa arab adalah dari rangkaian kata : “quu” dan “qilla” atau “quuqiila”,
yang artinya “peliharalah ucapan (mulut)-mu.
Hal mana dimaksudkan bahwa kain pakaian yang bermotif kukila
atau burung itu senantiasa memperingatkan atau mendidik dan mengajar kepada
kita, agar selalu baik tutur katanya, inilah diantaranya jasa sunan kalijaga
dalam hal seni lukis. Dalam hubungan ini dibuatnya model baju kaum pria yang
diberinya nama baju “takwo”, nama tersebut berasal berasal dari kata bahasa
arab “taqwa” yang artinya ta’at serta berbakti kepada Allah SWT.
Nama yang simbolik sifatnya ini, dimaksudkan untuk mendidik
kita agar supaya selalu cara hidup dan kehidupan kita sesuai dengan tuntunan
agama. Nama Kalijaga menurut setengah riwayat , dikatakan berasal dari
rangkaian Bahasa Arab ‘ Qadli Zaka, Qadli – artinya pelaksana, penghulu :
sedangkan Zaka – artinya membersihkan. jadi Qodlizaka atau yang kemudian
menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga itu artinya
ialah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan (kesucian) dan
kebenaran agama Islam.
Konon kabarnya Sunan Kalijaga itu usianya termasuk lanjut
pula, sehingga dalam masa hidupnya, beliau antara lain mengalami tiga kali masa
pemerintahan, pertama jaman akhkh Siti Jenar sesungguhnya tak ada disini, yang
ada hanyalah Tuhan yang Sejati, ujarnya pula :
“Awit seh lemang bang iku, wajahing pangeran jati. nadyan
sira ngaturana, ing pangeran kang sejati, lamun Syekh Lemah Bang ora, mansa
kalakon yekti”
Artinya : Oleh karena Syekh Siti Jenar itu sesungguhnya
adalah wajah wujudnya Tuhan sejati, meskipun engkau menghadap kepada Tuhan yang
sejati, manakala siti jenar tidak, maka tidaklah hal itu akan terlaksana. pada
waktu Maulana Maghribi memberi wejangan bahwa yang disebut Tuhan Allah Sejati
itu Wajibul Wujud (kang aran Allah jatine, wajibul wujud kang ana), maka Syekh
Siti Jenar pun menjawablah, katanya:
“Aja ana kakehan semu, iya ingsun iki Allah, nyata ingsun
kang sejati, jejuluk Prabu Satmata, tan ana liyan jatine, ingkang aran bangsa
Allah.”
Artinya: jangan kebanyakan semu, saya inilah Allah. saya
sebetulnya bernama Prabu Satmata, dan tiadalah yang lain dengan nama Ketuhanan.
Oleh karena segala ucapan-ucapan dan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar ini
dipandang sangat membahayakan kepada rakyat, maka akhirnya beliau pun dihukum
mati oleh para wali. Jikalau kita ikuti segala ucapan-ucapan Siti Jenar
tersebut di atas, maka hal itu mengingatkan kita kepada ajaran-ajaran dan
ucapan-ucapan salah seorang misticus yang masyhur, yaitu Al Hallaj (858-992).
sebagaimana diketahui, Al Hallaj pernah berkata: “Annal haqq” artinya : “sayalah
kebenaran yang sejati itu”
kemudian katanya pula: “wa’ma fi jubbati illa-lah” artinya “dan
tidak ada yang dalam jubah , melainkan Allah”.
Disamping itu al hallaj juga pernah mengatakan : “Telah
bercampur rohmu dalam rohku, laksana bercampurnya chamar dengan air jernih bila
menyentuhi akanmu sesuatu, tersentuhlah aku, sebab itu engkau adalah aku”
Dalam segala hal demikianlah pandangan hidupnya. ucapan dan
ajarannya inilah yang mengakibatkan dia dihukum mati di atas tiang gantungan,
karena dianggap berbahaya dan menyesatkan oleh pemerintah Bagdad. kedua ahli
mistik, baik Al Hallaj maupun Syekh Siti Jenar fahamnya condong kepada ajaran
pantheisme, kesatuan antara makhluk dengan khalik Maha Penciptanya. dan
keduanya pun mengalami pula nasib yang sama, karena mereka harus menebus
keyakinan hidupnya dengan hukuman mati.
Kemudian kita dapati pula ucapan Siti Jenar yang lain, yang
tampak isinya lebih mengutamakan hakekat daripada syari’at, katanya :
“Sahadat salat puwasa kawuri, apa dene jakat lawan pitrah,
ujar iku dora kabehm nora kena ginugu, Islam tetep durjaning budi, ngapusi
kyehning titah, sinung swarga besuke, wong bodo kanur ulama, tur nyatane pada
bae ora uning, beda syekh siti jenar.”
Selanjutnya berkatalah Syekh Siti Jenar: “Tan mituhu salat
lawan dikir, jengkang-jengking neng masjid ting krembyah, nora nana ganjarane,
yen wus ngapal batukmu, sejatine tanpa pinanggih, neng dunya bae pada susah
amemikul, lara sangsaya tan beda, marma siti jenar mung madep wajidi, gusti dat
roning kamal”.
Demikianlah antara lain pandangan hidup serta ajaran-ajaran
dari Syekh Siti Jenar. Dalam riwayat dikatakan bahwa murid Syekh Siti Jenar
adalah : Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Pengging, Pangeran Panggung, Ki Lontang.
Menengok konflik Masa Lalu
Biasanya, konflik yang terjadi di kalangan ulama -terutama
ulama jaman dahulu, lebih banyak diakibatkan karena persoalan (rebutan
pengaruh) politik. Tidak hanya terjadi pada era kiai-ulama masa kini, tapi
sejak jaman Wali Songo-pun, konflik seperti itu pernah terjadi. Bahkan, sejarah
Islam telah mencatat bahwa jenazah Muhammad Rasulullah SAW baru dimakamkan tiga
hari setelah wafatnya, dikarenakan para sahabat justru sibuk rebutan soal
posisi khalifah pengganti Nabi (Tarikh Ibnu Ishak, ta’liq Muhammad Hamidi). Di
era Wali Songo -kelompok ulama yang “diklaim” oleh NU sebagai nenek-moyangnya
dalam perihal berdakwah dan ajarannya, sejarah telah mencatat pula terjadinya
konflik yang “fenomenal” antara Wali Songo (yang mementingkan syari’at) dengan
kelompok Syekh Siti Jenar (yang mengutamakan hakekat). Konflik itu berakhir
dengan fatwa hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dan pengikutnya. Sejarah juga
mencatat bahwa dalam persoalan politik, Wali Songo yang oleh masyarakat dikenal
sebagai kelompok ulama penyebar agama Islam di Nusantara yang cukup solid dalam
berdakwah itu, ternyata juga bisa terpolarisasi ke dalam tiga kutub politik;
Giri Kedaton (Sunan Giri, di Gresik), Sunan Kalijaga (Adilangu, Demak) dan
Sunan Kudus (Kudus). Kutub-kutub politik itu memiliki pertimbangan dan alasan
sendiri-sendiri yang berbeda, dan sangat sulit untuk dicarikan titik temunya;
dalam sidang para wali sekalipun. Terutama perseteruan dari dua nama yang
terakhir, itu sangat menarik. Karena pertikaian kedua wali tersebut dengan
begitu gamblangnya sempat tercatat dalam literatur sejarah klasik Jawa,
seperti: “Babad Demak”, “Babad Tanah Djawi”, “Serat Kandha”, dan “Babad Meinsma”.
Lagi-lagi, konflik itu diakibatkan karena persoalan politik.
Perseteruan yang terjadi antara para wali itu bisa terjadi, bermula setelah
Sultan Trenggono (raja ke-2 Demak) wafat. Giri Kedaton yang beraliran “Islam
mutihan” (lebih mengutamakan tauhid) mendukung Sunan Prawata dengan
pertimbangan ke-’alimannya. Sementara Sunan Kudus mendukung Aryo Penangsang
karena dia merupakan pewaris sah (putra tertua) dari Pangeran Sekar Seda Lepen
(kakak Trenggono) yang telah dibunuh oleh Prawata (anak Trenggono). Sedangkan
Sunan Kalijaga (aliran tasawuf, abangan) mendukung Joko Tingkir (Hadiwijaya),
dengan pertimbangan ia akan mampu memunculkan sebuah kerajaan kebangsaan
nusantara yang akomodatif terhadap budaya.
Sejarah juga mencatat, konflik para wali itu “lebih seru”
bila dibandingkan dengan konflik ulama sekarang, karena pertikaian mereka
sangat syarat dengan intrik politik yang kotor, seperti menjurus pada
pembunuhan terhadap lawan politik. Penyebabnya tidak semata karena persoalan
politik saja, tapi di sana juga ada hal-hal lain seperti: pergesekan pengaruh
ideologi, hegemoni aliran oleh para wali, pengkhianatan murid terhadap guru, dendam
guru terhadap murid, dan sebagainya.
Bahkan, De Graaf, seorang sejarawan Jawa dari Belanda,
dengan begitu beraninya menilai konflik di antara para wali itu bukan hanya
masalah hubungan antara guru dan murid belaka. Bukan pula harus selalu dilihat
dari segi spiritualnya, tapi sekolah agama dari para wali itu bisa juga dilihat
sebagai sebuah konsentrasi politik. Para wali yang terlibat konflik itu
sesungguhnya tidak membatasi diri pada ajaran spiritual saja, tetapi juga
memposisikan dirinya sebagai ahli politik sejati, yang (terlalu) banyak ikut
campur tangan terhadap persoalan negara. Seperti misalnya, seseorang yang
menjadi raja, berhak menyandang gelar “Sultan” bila telah mendapatkan “restu”
dari Giri Kedaton. Model pola hubungan ulama-umara seperti ini yang kemudian
menjadi benih-benih pertikaian di antara wali sendiri.
Begitupun ketika pusat pemerintahan pindah dari Pajang ke
Mataram. Sunan Kudus “berbelok arah” mendukung kubu Demak (Aria Pangiri, putra Sunan Prawata [kubu yang
sebelumnya dilenyapkan Arya Penangsang, jagoan Sunan Kudus]) untuk menguasai
Pajang, mengusir Pangeran Benawa (putra Sultan Hadiwijaya). Sementara Sunan
Kalijaga mendukung keturunan Pamanahan (Ki Gede Mataram) untuk mendirikan
kerajaan baru yang bernama Mataram.
Tidak hanya berhenti di situ. Konflik politik para wali itu
terus berlanjut hingga akhir hayat mereka. Hingga anak cucu generasi mereka
selanjutnya. Dan lebih memprihatinkan lagi, ketika Sunan Amangkurat I (Raja
Mataram ke-5, putra Sultan Agung Hanyokrokusumo) membantai secara keji 6000
ulama ahlussunnah wal jama’ah di alun-alun Mataram, dengan alasan “mengganggu
keamanan negara”. Ini adalah sebagai bukti adanya imbas yang berkepanjangan
dari perseteruan ideologi para wali di era sebelumnya -di samping juga karena
faktor politik yang lain. Dan, gesekan-gesekan aliran keagamaan (ideologi)
seperti itu, di kemudian hari terus berlanjut, seolah-olah telah menjadi sebuah
“warisan” masa kini.
Posting Komentar